
Akankah menyelesaikan konflik dan beranikah ICC melakukannya terhadap pemimpin negara adidaya?
Kita semua patut bersimpati dan bersedih melihat penderitaan korban konflik di Darfur. Area ini luasnya sebesar negara Prancis, terletak di negara Sudan, benua Afrika, yang merupakan negara terbesar ke sepuluh di dunia.
Apa yang sebenarnya terjadi di Darfur? Singkat cerita, sebuah kelompok memberontak melawan pemerintah karena telah menekan kaum kulit hitam Afrika dan terlalu berpihak terhadap etnis Arab. Setelah ‘resmi’ dinyatakan dimulainya konflik pada tahun 2003 (yang sebenarnya telah lama terjadi), maka korban terus berjatuhan.
Masyarakat sipil menjadi target dari milisi bernama Janjaweed yang melakukan pembakaran, pembunuhan, perampokan serta pemerkosaan. Pemerintah menolak telah mempersenjatai dan mendukung milisi ini, namun kondisi nyata di lapangan memberi bukti jauh lebih kuat untuk meragukan pernyataan pemerintah Sudan.
Tidak ada angka pasti berapa jumlah korban kematian atas konflik ini namun diperkirakan mencapai angka 400.000 jiwa. Belum lagi jika kita membayangkan kesusahan korban yang harus menghadapi masa-masa sulit ketika harus terusir dari wilayah mereka dan menghadapi ketidakpastian. Jumlahnya mencapai angka 2,5 juta jiwa. Sulit membayangkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup di tengah ketakutan dan kondisi alam yang sangat tidak bersahabat tersebut.
Korban trauma dan tidak bisa hidup tenang dikarenakan milisi berkeliaran seperti hantu yang dengan kejam tanpa ampun siap melakukan kekerasan yang menjijikkan tanpa pandang bulu. Kelaparan dan kekurangan air bersih menambah angka kematian yang terus bergerak menanjak. Saya jadi teringat film “Hotel Rwanda”, dan konon kekejaman yang terjadi sebenarnya jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan apa yang telah digambarkan dalam film itu.
Maka perintah penangkapan terhadap presiden Sudan Omar al-Bashir oleh International Criminal Court (ICC) patut didukung dan disambut setelah cukup bukti untuk menyeretnya ke pengadilan yang bermarkaas di Den Haag tersebut. Sampai tulisan ini dibuat, Bashir menolak dan mengetakan kita tidak akan menyerah kepada kolonialis dan kekuatan Barat.
Konflik di Darfur juga menjadi contoh akan kesalingtergantungan antarnegara dalam perpolitikan internasional. Negara China adalah salah satu negara yang menjual senjatanya kepada pemerintah Sudan, sedangkan Sudan menjamin pasokan minyak ke China. China membutuhkan energi yang besar atas pembangunannya yang pesat belakangan ini. Konflik di Darfur adalah bioskop kehidupan yang nyata jika keserakahan dan wibawa lebih penting nilainya dari nyawa satu orang manusia.
Dengan pengaruhnya yang kuat atas Sudan, China bisa berperan banyak atas konflik yang terjadi di Darfur, apalagi mengingat posisinya sebagai anggota Dewan Keamanan tetap di PBB. Maka, tidak heran jika banyak yang skeptis atas peran PBB untuk menjaga stabilitas dunia karena tidak ada lagi dialog di sana melainkan politik menancapkan pengaruh dan hegemoni negara-negara besar.
Pertanyaan lain yang patut kita ajukan adalah beranikah ICC mengadakan pengusutan terhadap pemimpin negara adidaya seperti Amerika Serikat dan sekutunya seperti Israel?
Tidak heran salah satu alasan keras kepalanya Bashir untuk menolak ditahan seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa ia tidak ingin tunduk kepada negara-negara Barat. Ada bias dalam politik internasional. Pernyataannya tersebut malah membuat ia menjadi semacam pahlawan di negaranya dan puluhan ribu pendukungnya berkumpul untuk memberi semangat dan melontarkan slogan bernada patriotik.
Inilah cermin kekusutan dunia jika politik tidak ditempatkan sebagai alat untuk membawa kesejahteraan bagi banyak orang. Padahal, jika memang tiap pemerintah lebih mementingkan kesejahteraan dibandingkan hegemoni, hampir semua masalah bisa teratasi.
Oleh karena itu, sebuah pelajaran berharga patut kita tempatkan dalam sistem pendidikan kita bahwa berkawan dan saling membantu lebih baik dibandingkan berkompetisi untuk memperebutkan juara. Saya khawatir salah satu penyebab kekusutan ini jika dilacak terdapat dalam sistem pendidikan kita yang harus direvisi besar-besaran. Benarkah demikian?
Keterangan gambar: Omar al-Bashir, Presiden Sudan (diambil dari:www.telegraph.co.uk)

