
Sesuatu yang tidak terbayangkan bisa terjadi 10 tahun yang lalu
Semarang merupakan salah satu kota yang memiliki banyak tempat menarik untuk dikunjungi. Siapa yang tidak kenal Lawang Sewu gedung tua berisi para hantu itu (katanya) sampai-sampai dijadikan judul industri film horor negeri ini.
Ada lagi kelenteng Cheng Hoo, yang namanya diambil berdasarkan nama seorang Laksamana Muslim utusan kaisar dari Dinasti Ming di China sana. Peziarah yang datang ke tempat ini konon tidak hanya mereka yang beragama Buddha, Konfusius, dan Tao, tapi juga dari Muslim. Cukup unik.
Namun ada satu lagi pasar malam yang menarik untuk dikunjungi. Saya telah melihat liputan pasar malam itu di acara bertema jalan-jalan di televisi, nama pasar itu Semawis. Buka setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu di kawasan pecinan Semarang. Kesempatan mengunjungi Semarang akhirnya datang juga.
Kata kawan saya tempat ini dulunya hanya dibuka setiap menjelang tahun baru imlek saja, namun melihat antusiasme pengunjungnya, maka setiap minggu tiga kali pasar ini diadakan.
Pengunjung yang datang ke pasar ini kebanyankan dari etnis Tionghoa. Saya bertanya-tanya mengapa tempat ini tetap selalu ramai meski dibuka tiap semiggu tiga kali? Apakah pengunjungnya tidak bosan? Apakah ini euforia dari keterkekangan selama masa Orde Baru?
Di Semawis, aneka asesoris bisa ditemukan, oh tentu saja asesoris made in China yang mendominasi, yang terkenal dengan harga murahnya dan berbagai barang sepele nan aneh.
Di satu sisi, sekelompok pencinta karaoke lagu-lagu mandarin nostalgia berkumpul di sebuah sudut untuk mengekspresikan kegemarannya akan dunia tarik suara, rata-rata dari mereka sudah senior alias sepuh. Tanpa peduli suara mereka bagus ataupun setara dengan penghuni Lawang Sewu, mereka tetap bernyanyi dan berjoget dengan riangnya, tak jarang tepuk tangan mereka dapatkan atas penampilan itu. Pokoknya hobi tersalurkan.
Pasar serupa di Surabaya bernama Kya-Kya Kembang Jepun konon mengalami penurunan pengunjung yang membuat pedagang di tempat itu harus menghitung ulang untung-ruginya.
Soal makanan, variasi yang bisa didapatkan Semawis tidak kalah. Yang unik, kemampuan berkreasi dalam membuat poster mengenai depot mereka menjadi salah satu daya tarik agar meraih pembeli, seperti bagaimana membuat poster bagi para caleg semenarik mungkin agar masyarakat mengetahui mereka (vote me.. vote me campaign, kata teman saya).
Karena segmen pembeli dari pasar Semawis ini kebanyakan bisa mengkonsumsi daging babi, maka di pasar ini mereka tidak tanggung-tanggung dalam menampilkan kata ‘babi’ dalam menu makanannya. Sate babi, misalnya, sangat umum didapatkan di Semawis.

Pasar Semawis merupakan representasi dari kebebasan berekspresi yang dirasakan oleh oleh etnis Tionghoa di Indonesia, sesuatu yang tidak bisa dibayangkan terjadi 10 tahun yang lalu. Makin terbukanya iklim kebebasan berekspresi ini haruslah dirasakan dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia dengan penuh tanggung jawab. Meski belum sepenuhnya berjalan mulus, karena saudara-saudara kita di Aceh, Papua, dan daerah Indonesia Timur lainnya masih rawan akan konflik yang membuat kebebasan mereka sedikit terkekang, pemerintah harus terus menjaga iklim kebebasan berekspresi ini dan selalu siap mendengarkan kritik dari masyarakatnya.
Apa yang tidak terbayangkan 10 tahun yang lalu kini bisa diwujudkan, sekarang saatnya kita berusaha mewujudkan apa yang belum terwujud.
Saya memimpikan kebebasan berekspresi di Pasar Semawis sebagai simbolnya, bukan di depan sebuah monumen atau patung kebebasan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar