“Bapak nyoblos siapa pada pemilihan Gubernur (Jawa Timur)kemarin?” tanya saya kepada supir taksi yang mengantarkan saya di Surabaya.
“Wesss, golput Pak!” jawabnya polos.
Golput. Seruan untuk golput pada pemilu mendatang juga datang dari mantan presiden kita Gus Dur beberapa waktu lalu. Tidak memilih siapapun yang akan berkuasa dan “menentukan nasib bangsa ke depan”.
Tahun ini tahunnya pemilu. Para politisi kembali melakukan berbagai manuver agar dapat dipilih dan mendapatkan kekuasaan. Nyaleg istilah populer belakangan ini bagi mereka yang mengajukan diri sebagai calon legislatif dan juga nyapres bagi mereka yang berikrar ingin maju sebagai calon presiden RI.
Kampanye para caleg sudah sangat semarak di berbagai daerah. Setiap tiang listrik dan pohon sudah tertempel gambar, nomor urut, serta partainya. Tapi toh sebenarnya setiap saya melintasi jalanan saya tidak bisa melihat secara rinci siapa mereka yang di pohon itu, ataukah mungkin sasaran konstituennya bukan pengendara kendaraan bermotor seperti saya?
Caleg. Mereka konon memiliki misi untuk memperbaiki keadaan rakyat melalui jalur politik praktis. Banyak di antara mereka yang kita tidak tahu sama sekali latar belakangnya sebelum mencalonkan diri. Program apa yang ingin ditawarkan para caleg itu masih kabur. Perlu ada sebuah sistem agar profil dan rekam jejak mereka bisa diakses oleh publik yang akan mempercayai mereka menentukan kebijakan dan mengkritisi program mereka.
Pemilu ini adalah jilid dua dari pemilu yang menerapkan sistem pemilihan langsung. Surat suara sudah sangat berubah menjadi sangat besar, bukan lagi surat suara kecil yang cukup “satu, buka...dua, coblos...tiga, tutup”, mengingat pemilu-pemilu puluhan tahun lalu yang berlangsung sangat lama dengan sistem satu-dua-tiga itu dengan pemenang pasti partai nomor dua.
Kebebasan menyatakan pendapat di era pasca-Orba ini perlu disambut dengan gembira. Seruan golput haram atau halal bisa bersanding ramai.
Golput. Toh perubahan nyata masih susah dilihat. Pertikaian antarpolitisi yang mencalonkan diri sebagai pimpinan walikota atau gubernur di pilkada-pilkada sebelumnya menjadi berita yang lebih marak dibandingkan hasil kerja dari sang pemenang itu sendiri.
Sengketa terjadi di mana-mana. Masyarakat sudah bosan dengan berbagai macam pemilu dan apatisme politik meningkat. Politik sudah terlanjur dianggap sebagai ruang kotor, sarang para koruptor, dan tempat mengumpulkan kekayaan. Masyarakat (oke...sebenarnya ‘saya’) ingin melihat sebuah perubahan nyata yang sederhana seperti harga sembako murah, jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang murah bahkan gratis, harga pupuk murah, sampah tidak berserakan, sistem pengadilan yang tegas dan berwibawa, polisi yang benar-benar mengayomi, transportasi umum nyaman dan aman, dan birokrasi yang melayani. Hanya itu saja.
Adakah harapan untuk mengubah stigma perpolitikan di tanah air ini? Ya, tetaplah berharap, karena jika sudah berhenti berharap kita sudah tidak akan bekerja lagi untuk mewujudkan harapan itu, sekecil apapun cara yang ditempuh. Selamat berjuang para caleg dan capres, tolong yakinkan saya agar saya tidak golput.
Keterangan gambar: Seruan pendukung Gus Dur untuk tidak memilih PKB karena Gus Dur telah disakiti, kata spanduk itu. Spanduk terdapat di daerah Singosari, Malang.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar