Sebuah pelajaran ketika uang tidak mampu membeli segalanya, ketika apa yang Anda yakini tidak dianggap penting bagi orang lain, ketika banyak orang pesimis terhadap apa yang Anda perjuangkan.
Chiang Mai, Thailand, Juni 2008. Hari itu tidak terlalu cerah, hujan sempat mengguyur namun tidak terlalu deras. Kami semua lalu berhenti di depan sebuah pasar kecil perlengkapan kebutuhan sehari-hari atau sekadar minuman ringan bisa didapatkan di sana. Namun, ternyata perhentian itu hanya awal dari sebuah perjalanan yang lumayan jauh. Kami di sambut oleh seseorang yang biasanya dipanggil Pru. Dia sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Perawakannya tinggi dan kurus, berjenggot dan berkumis tipis, berambut gondrong dan murah senyum. Mengenakan pakaian khas suatu kelompok etnis tertentu yang sangat asing bagi saya, namun belakangan kami mengetahui bahwa di balik sosok sederhana ini terdapat jiwa perjuangan yang besar yang kami belum tentu bisa menandinginya.
Kami sudah ditunggu oleh tiga mobil yang siap mengantar kami ke desa tempat Pru tinggal. Apa yang menarik di sana? Mengapa kami harus diajak ke sebuah desa yang jalannya sangat berlumpur, tidak rata serta terpencil?
Nama kelompok etnisnya adalah Pakayaw, asing sekali bukan? Bahkan bagi orang Thailand sendiri pun. Kebanyakan dari mereka adalah pemeluk Kristen, sehingga mereka adalah minoritas di negeri Thailand baik secara etnis maupun agamanya. Kami diajak ke sana untuk belajar bagaimana cara hidup mereka dan apa yang selama ini diperjuangkan oleh Pru, sosok pemuda yang dianggap pemimpin di desanya.
Karena mereka dianggap tertinggal dan minoritas, para penguasa di Thailand ingin membeli tanah yang mereka sudah tempati selama turun-temurun bahkan sebelum undang-undang mengenai sertifikat tanah itu ada. Saat ini status mereka adalah ‘ilegal’ karena tidak memiliki sertifikat tanah. Penguasa ingin mengembangkan sebuah proyek taman nasional dan tanah mereka masuk dalam area yang ingin ‘digusur’.
Pru suatu ketika mengatakan dia pernah diperlihatkan sejumlah uang yang jumlahnya banyak sekali, untuk ukuran orang yang tinggal di pedalaman sepertinya jumlah itu sangat fantastis karena uang menumpuk di dalam sebuah koper (yang sebenarnya jumlahnya tidak seberapa untuk harga sebuah lahan luas yang ingin pemerintah beli). Pru tercengang. Pada saat mendengar cerita itumata kami terpana ke Pru dan bertanya-tanya apa yang dilakukan Pru ketika itu? Bagaimana cara dia menolak?
Ternyata dengan sangat polos dan sederhana, Pru hanya menjawab, “Apakah anda memiliki keluarga, anak, dan istri? Mereka semua tidak bisa dibeli dengan uang berapapun besarnya, begitu pula lahan ini, ia sudah seperti keluarga kami.” Saya terkesima dengan jawaban sederhana Pru namun patut menjadi renungan bagi kita semua yang bukan mustahil akan tergoda dan goyah prinsipnya hanya dengan uang. Pru sudah memperhitungkan segalanya. Pru bukan orang yang anti terhadap uang. Namun cara hidup dan budaya orang-orang etnis Pakayaw terancam akan tercabut jika mereka harus pindah dan tersebar. Nilai apakah yang begitu penting sehingga ia mati-matian dipertahankan Pru dan membuat kami semua harus jauh-jauh datang kemari untuk belajar dari mereka?
Lagi-lagi sesuatu yang sederhana dan sering kali sudah terlupakan. Kebersamaan, kepedulian, saling menghormati, sopan santun, dan kesederhanaan. Cara hidup etnis Pakayaw benar-benar mengandalkan kebersamaan. Sawah mereka kelola bersama dan hasil panennya tidak untuk dijual melainkan untuk dikonsumsi bersama, sehingga rasa kebersamaan di antara mereka sangat kental saya rasakan ketika mereka menyambut rombongan kami di desanya.
Pru menganggap masyarakat Thailand harus tahu terhadap apa yang mereka sedang hadapi. Berita mengenai mereka pasti sangatlah jarang diliput media. Maka, Pru pernah melakukan perjalanan dari Chiang Mai menuju kota Bangkok dengan berjalan kaki dan menyebarkan selebaran. Jika menggunakan bus, maka Chiang Mai-Bangkok akan ditempuh dalam 9 jam. Pru menempuh 45 hari perjalanan agar tiba di pusat kota Bangkok. Dalam perjalanannya, Pru akhirnya diliput oleh sebuah stasiun TV dan menayangkannya dalam acara berdurasi 30 menit khusus untuk meliput perjalanan Pru.
Saat ini Pru dan etnis Pakayaw masih terus berjuang untuk mendapatkan status ‘legal’ mereka. Mereka tidak menyerah, mereka memilih untuk berjuang. Mungkin banyak di antara kita pesimis, mungkin juga mengatakan percuma melakukan perjalanan 45 hari, menyiksa diri dan hasilnya tidak tampak (dalam rekaman tayangan TV yang meliput Pru, ada beberapa yang menganggap Pru gila, tapi juga ada yang memberi semangat dan uang saku untuk jaga-jaga).
Namun, saya yakin jika Pru mendengarkan ini semua dia hanya akan tersenyum dan tidak berusaha untuk mengkhotbahi atapun marah terhadap mereka yang menganggap perjuangan Pru sia-sia. Karena Pru yakin hasil yang ia perjuangkan akan tampak ke depan jika dengan sungguh-sungguh ia jalani terus, lebih dari itu secara tidak sadar ia telah mengingatkan kita untuk selalu mempertahankan nilai-nilai kebersamaan yang lebih bermakna lebih dari sekadar memiliki uang banyak, sebuah nilai yang saat ini sudah mulai pudar. Saya lalu membayangkan apakah saya cukup kuat jika berada pada posisi Pru?
Semoga bisa bertemu lagi, Pru!
Keterangan gambar: (Paling atas) Pru, (Tengah) Rumah masyarakat etnis Pakayaw, (Paling bawah) Rombongan yang terdiri dari negara Kamboja, Indonesia, Singapura, Malaysia, India, Sri Lanka, Nepal, Bhutan, Myanmar, Thailand dan Tibet

Tidak ada komentar:
Posting Komentar