Nama John Perkins mencuri perhatian ketika ia menerbitkan buku Confession of Economic Hit Man di tahun 2004, dilanjutkan terbitan berikutnya The Secret History of The American Empire: Economic Hit Men, Jakals, and the Truth About Global Corruption tahun 2007. Kedua buku ini telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
Perkins adalah seorang mantan economic hit man (EHM) yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS. Dalam bukunya yang kedua edisi bahasa Indonesia, Budiarto Shambazy, wartawan senior harian Kompas menulis pada kata pengantarnya sebagai berikut: “John Perkins adalah penulis asal Amerika Serikat (AS) yang mengungkapkan kejahatan korporatokrasi yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.” (hal.ix)
Yang dilakukan Perkins, tulis Budiarto lagi, adalah: “Tugas pertama Perkins membuat laporan-laporan fiktif untuk IMF dan World Bank agar mengucurkan utang luar negeri kepada negara-negara Dunia Ketiga. Tugas kedua Perkins membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang yang menggunung, negara pengutang dijadikan kuda yang dikendalikan kusir. Negara pengutang ditekan agar, misalnya, mendukung Pemerintah AS dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Bisa juga negara pengutang dipaksa menyewakan lokasi untuk pangkalan militer AS. Sering terjadi korporatokrasi memaksa negeri pengutang menjual ladang-ladang minyak mereka kepada MNC (multinational corpotarion) milik negera-negara Barat. (hal. ix-x)
Perkins lalu menulis : “Perusahaanku, MAIN, bertugas mengembangkan sistem kelistrikan terpadu yang memungkinkan Soeharto dan kroni-kroninya menggerakkan industrialisasi, menambah kekayaan, dan memastikan dominasi Amerika dalam jangka panjang. Sedangkan tugasku adalah melakukan kajian perekonomian yang diperlukan untuk mendapatkan pendanaan Bank dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID).” (hal. 6)
Dan bermunculanlah proyek-proyek infrastruktur dan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta. Sayangnya proyek pembangunan pada masa “keajaiban ekonomi” tetap tidak bisa memberantas kemiskinan, listrik tetap tidak bsia diakses oleh semua penduduk, dan negara tetap tidak mampu “memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar” seperti yang diamanatkan UUD, gelandangan masih berkeliaran di Jakarta.
Sehingga pada saat krisis ekonomi melanda Asia di tahun 1997, Perkins menulis: “Sepintas, statistik resmi menunjukkan bahwa pekerjaan kami di Indonesia pada 1970-an membuahkan catatan ekonomi yang mengagumkan, setidaknya hingga 1997. Tapi data tentang rendahnya inflasi, total cadangan devisa asing lebih dari 20 juta dolar, surplus perdagangan lebih dari 900 juta dolar, dan ektor perbankan yang mantap, tak lebih hanyalah omong kosong....Para ekonom di Bank Dunia, IMF, firma konsultan, dan lembaga akademis memanfaatkan data itu untuk menyatakan bahwa kebijakan pembangunan yang kami, para Bandit Ekonomi, promosikan terbukti sukses."(hal. 32-33)
“Keuntungannya hanya dirasakan oleh kelas ekonomi tertinggi. Peningkatan pendapatan nasional yang pesat itu dicapai dengan jalan mengeksploitasi buruh murah dalam jumlah besar di tempat-tempat menguras tenaga dan tidak memerhatikan sisi keamanan. Belum lagi berbagai kebijakan yang mengizinkan korporasi asing merusak lingkungan dan menjalan kegiatan yang dilarang di Amerika Utara dan Eropa.” (hal. 33)
Dalam buku (kedua) setebal 465 halaman ini, Perkins juga menulis mengenai perjalanannya dalam melakukan "tugas-tugas"nya di berbagai belahan dunia seperti di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, dan Asia.
PAda akhirnya, Perkins, yang akhirnya memilih mundur sebagai EHM dan nekat menulis buku ini, menawarkan solusi untuk mengubah sistem ekonomi saat ini yang sangat tidak memerhatikan etika, faktor manusia, budaya dan lingkungan. Masih banyak detail dan fakta menarik yang bisa diambil dan dipelajari dari buku Perkins sehingga kita bisa mendapatkan sumber yang seimbang setelah selama Orde Baru masih berkuasa, kebebasan kita untuk memperoleh informasi sangatlah minim.
Setelah melihat bagaimana ekonomi dunia umumnya dijalankan apakah ada negara yang mencoba sebuah alternatif ekonomi? (yang bukan tidak mungkin bisa menjadi model ekonomi utama jika terus dikaji).
Mari kita menuju ke negara Bhutan. Sebuah negara yang tidak memiliki laut sama sekali karena terletak di kaki pegunungan Himalaya. Jumlah penduduknya 670 ribu-an jiwa. Negara ini menjadi sorotan ketika pada tahun 1972, raja mereka waktu itu Jigme Singye Wangchuck menerapkan sebuah sistem pembangunan yang mengutamakan Gross National Happiness (GNH) dari penduduknya, sebuah istilah yang dibuat oleh sang raja.
Empat pilar yang menjadi semacam “UUD” dari GNH adalah:
1. Mempromosikan pembangunan ekonomi yang adil dan ramah lingkungan.
2. Pelestarian dan promosi nilai-nilai budaya.
3. Melindungi (konservasi) lingkungan alami.
4. Menciptakan pemerintahan yang sehat.
Apa tujuan dari GNH ini? Secara singkat, GNH bertujuan untuk menyeimbangkan nilai-nilai dari pengembangan materi dan spiritual agar saling mendukung satu sama lain, menciptakan masyarakat yang harmonis. Kebahagiaan dicapai bukan dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya saja, tetapi juga faktor kebahagiaan individu dan keadilan harus diperhatikan.
Sehingga dalam melaksanakan sebuah proyek pembangunan, Pemerintah Bhutan akan lebih dulu mempertimbangkan sembilan nilai yaitu:
1. Psychological Well-being
2. Time Use
3. Community Vitality
4. Culture
5. Health
6. Education
7. Environmental Diversity
8. Living Standard
9. Governance
Sehingga jika salah satu dari kesembilan nilai ini ada yang terganggu maka proyek tersebut harus dipertimbangkan kelanjutannya. Sangat menarik, karena ia tidak hanya mempertimbangkan berapa banyak uang yang bisa didatangkan dari suatu proyek.
Untuk mendiskusikan dan mematangkan konsep GNH, maka secara rutin diadakan konferensi internasional mengenai GNH, yang mengumpulkan berbagai pemikir untuk terus mengkaji agar sistem GNH bisa diterapkan. Tidak lupa, konferensi ini juga memiliki program buat para pemuda sehingga pemuda juga bisa menyumbangkan pemikirannya.
Kawan saya asal Bhutan, Sonam Jamtsho, selalu bersemangat jika menceritakan mengenai proyek GNH Bhutan. Meski belum sepenuhnya sempurna, ia mengatakan bahwa kebaikannya masih lebih banyak. Sonam adalah seorang pekerja pemerintahan di bidang pemuda dan olah raga. Ia disekolahkan oleh pemerintah di Australia untuk mendukung program kepemudaan di Bhutan.
Sebuah model pembangunan yang ditawarkan negara Bhutan sangat menarik untuk dipelajari sebagai alternatif di antara banyak alternatif yang ditawarkan. Permasalahan pemanasan global, kerusakan hutan dan lingkungan, pendidikan yang mahal, serta banyaknya tenaga kerja kita yang menjadi tenaga kerja di negeri orang, merupakan sebuah bukti bahwa negara ini masih berjuang untuk menjadi lebih baik.
Di akhir bukunya pada halaman 451, John Perkins menutup dengan seruan optimis: “Telah tiba saatnya bagi kita untuk mengambil berbagai tindakan itu. Kita mempunyai semua yang bisa kita perlukan untuk mewujudkan sebuah visi baru, semua sumber daya, jaringan, dan sistem. Dalam tahun-tahun terakhir ini, kita juga telah menyadari bahwa kita memiliki semua kemauan itu. Kita – Anda dan aku – punya semua peralatan yang diperlukan.”
“Sekaranglah saatnya kita mengubah dunia.”
Sumber bacaan:
1. Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga. Penulis: John Perkins. Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, 2007
2. http://www.gnh-movement.org
3. http://www.grossnationalhappiness.com
Keterangan gambar:
(Atas) Uang 10 Ngultrum, uang dari negara Bhutan pemberian dari Sonam Jamtsho
(Bawah) Sonam Jamtsho/kiri dan saya

Sudah saatnya ditumbuhkan sikap peduli pada bangsa dengan memakai perkakas buatan dalam negeri. Memang seringkali kebutuhan menjadi tidak terakomodir jika kita hanya mengandalkan perkakas dalam negeri. Untuk itu sepertinya kita harus menjadi lebih irit lagi, tapi tentu tidak mengurangi semangat serta keaktif-an kita dalam berbuat sesuatu untuk membuat segalanya menjadi lebih baik.
BalasHapus