Tanah yang terletak di pegunungan Himalaya itu sudah menyimpan banyak cerita yang menarik, salah satunya adalah kisah tentang Shangrila, sebuah negeri yang tenteram. Tibet menjadi terkenal berkat ketokohan pemimpin spiritualnya, Dalai Lama XIV yang bernama asli Tenzin Gyatso. Peraih hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1989 itu tetap berpegang pada pendiriannya dalam menghadapi negeri China, yaitu tidak menggunakan kekerasan dan tidak membenci rakyat China.
Pada tahun 1959 Dalai Lama harus pergi meninggalkan tanah kelahirannya setelah tentara komunis China menghadapi protes dari para biksu Tibet dengan kekerasan atas kependudukan tanah mereka oleh Pemerintah China. Sampai hari ini, Dalai Lama dan ribuan pengungsi Tibet menetap di India dan masih terus berusaha untuk kembali ke Tibet dan mengatakan kepada Pemerintah China bahwa rakyat Tibet tidak menuntut kemerdekaan tetapi otonomi yang lebih besar atas tanah mereka sendiri sehingga kekayaan budaya mereka tidak hilang.
Saya tidak pernah menyangka bisa bertemu salah satu dari mereka, tepatnya di kota Bangkok saat saya diundang oleh sebuah organisasi. Kas Tempa nama seorang biksu Tibet itu. Pembawaannya ramah dan suka bercanda. Dia sudah menjadi biksu selama 20 tahun lebih, padahal usianya masih 32 tahun saat itu.
Rupanya Tempa tidak tahu sama sekali mengenai negara bernama Indonesia sebelumnya, sehingga ia tidak pernah tahu keberagaman suku dan etnis yang berada di Indonesia. Begitu dia tahu bahwa nenek moyang saya berasal dari China, matanya lalu terbelalak, mulutnya menganga menunjukkan bahwa dia kaget setengah mati.
Bukan bermaksud membenci orang China, namun dia kaget mengapa ada orang China yang mendukung perjuangan rakyat Tibet, saya hanya tertawa dan mengatakan saya orang Indonesia, sama sekali sudah tidak ada hubungannya dengan negara China, dan saya mendukung perjuangan rakyat Tibet karena Pemerintah China sudah melakukan sesuatu yang menurut saya melanggar hak asasi manusia dan memberi propaganda dengan melabeli Dalai Lama pemberontak atau pengkhianat, sedangkan Dalai Lama tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang mengecam dan mejelekkan bangsa China. Dengan jelas kita tahu siapa yang harus didukung dan bukan berarti karena saya memiliki asal-usul dari negera tersebut maka saya harus membelanya secara membuta.
Sebagaimana penduduk Tibet lainnya di pengungsian, Tempa memiliki keinginan yang besar untuk melihat tanah Tibet suatu hari benar-benar bisa bebas dari cengkeraman pemerintah China, oleh sebab itulah mengapa dia sangat menghormati mereka yang mendukung perjuangan rakyat Tibet.
Selama ini saya hanya melihat melalui televisi bagaimana biksu Tibet menghormati kawannya yaitu dengan merangkul kemudian menempelkan dahinya ke dahi kawannya. Saya tidak menyangka, ketika akan meninggalkan kota Bangkok, Tempa mengalungkan sebuah selendang Tibet, lalu merangkul saya, menempelkan dahinya ke dahiku, lalu membacakan suatu doa dalam Bahasa Tibet. Entah mengapa, detik-detik itu terasa begitu hikmat. Saya merasa sangat dihormati dan dihargai.
Sambil berharap suatu hari dapat bertemu dan melihat Tibet bisa bebas, pikiranku terus mengusik saya, berkata tidak seharusnya seseorang menindas dan menekan orang lain.
Keterangan gambar: (atas) Kas Tempa, seorang biksu Tibet,(bawah) Seven Years in Tibet, film yang dibintangi Brad Pitt, gambar menunjukkan Dalai Lama kecil menempelkan dahinya sebagai bentuk penghormatan khas orang Tibet. Gambar diambil di http://www.allposters.com/-sp/Seven-Years-in-Tibet-Posters_i2923044_.htm

Saya tidak pernah mengerti mengapa RRC menginvasi Tibet. Apakah karena kurang kerjaan? Apakah karena revolusi kebudayaan mereka, yang menganggap Tibet adalah salah satu tempat berkebudayaan tinggi yang menjadi sumber ancaman Ideologi komunis mereka? Atau apakah karena alasan militer, karena mereka membutuhkan tempat strategis untuk berjaga-jaga seandainya mereka berperang dengan India? Atau apakah mereka hanya ingin memperluas wilayah mereka yang sudah luas?
BalasHapusApapun alasan RRC, tindakan mereka menginvasi Tibet, adalah tindakan yang membikin banyak orang muak, saya juga muak. Tapi dari film dokumenter yang saya lihat, memang tidak semua orang Tibet menderita karena pendudukan China tersebut. Banyak diantara mereka yang senang dengan kemajuan ekonomi China beserta infrastruktur yang mereka bangun di seluruh bagian Tibet. That’s it, ini semua yang saya tahu tentang Tibet, selebihnya hanyalah opini saya, opini orang ndeso tidak berpendidikan serta tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Saya berpendapat, setiap bangsa pasti memilki martabat dan harga diri. Warganegaranya pasti akan menjunjung tinggi tradisi serta budaya yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Mereka pasti bangga dengan karakter mereka sendiri sebagai bangsa yang beradab. Mereka pasti lebih senang apabila mereka diperintah oleh bangsa sendiri, dan menentang pendudukan pemerintahan asing. Itulah sebabnya hampir di seluruh dunia pernah terjadi perang kemerdekaan.
Menjadi merdeka bagi warga negara tidak hanya berarti bahwa mereka bisa bebas mengakses fasilitas negara, yang berpotensi membuat mereka menjadi lebih makmur saja. Namun juga bebas untuk menjadi diri sendiri, bebas untuk menganut ideologi nenek moyang asli, bebas untuk setia pada pemimpin lokal yang menjadi simbol kebesaran kebudayaan. Katanya bahkan orang Tibet tidak boleh memelihara fotonya Tenzin Gyatso, pemimpin yang mereka cintai.
Saya beropini bahwa, pasti ada perasaan sedih mendalam ketika orang Tibet selaku tuan rumah, melihat tanah Tibet, ibu pertiwi mereka dikuasai oleh RRC. Kantor-kantor pemerintahan RRC di mana-mana, barak-barak militer dimana-mana, patroli militer RRC di jalan-jalan. Segala kebijakan selalu diputuskan oleh RRC, jika kebijakan itu terasa memberatkan orang Tibet, dan mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa, maka seakan-akan pemerintah RRC kebakaran jenggot dan menertibkan demo itu dengan tindakan kekerasan militer.
Republik Rakyat China adalah negara yang dipimpin oleh orang-orang kaku dengan sistem yang kaku pula, seperti saudara dekatnya Korea Utara. Lihat saja sejarahnya, pada jaman pemimpin Mao, mereka seringkali memaksa-maksakan ideologi komunis mereka pada rakyatnya sendiri, padahal tidak semua orang China suka Komunisme, tidak semua orang China beruntung dengan revolusi kebudayaan, malah banyak dari mereka yang menderita. Tragedi Tiananmen adalah contoh jika orang-orang kaku dan sistem kaku merajalela, masak mahasiswa ditindak sampai mati kayak gitu, lha wong mereka itu kan rakyat sendiri, warga negara sendiri.
Republik Indonesia katanya juga begitu, sebagian orang mengatakan bahwa kedatangan TNI ke Timor-Timur adalah tindakan invasi, katanya banyak yang mati akibat invasi itu. Saya tidak tahu kebenarannya, saya tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk dapat mengetahui kebenarannya. Tapi jajag pendapat yang dimenangkan oleh pihak pro kemerdekaan sepertinya membuktikan bahwa sebagian besar penduduk Timor-Timur tidak senang dengan Indonesia. Saya sendiri kenal beberapa orang veteran TNI yang dulu ikut dalam proses pendudukan di sana. Saya mendengarkan dengan telinga saya sendiri bagaimana mereka memperlakukan orang-orang Timor-Timur yang mereka anggap sebagai pemberontak. Mengerikan.
Setiap wilayah yang memiliki budaya lokal yang diperintah dan diatur oleh orang asing, yang berbeda budaya, beda ras, beda kebudayaan, selalu mendatangkan petaka akibat kecemburuan (belum lagi nanti petaka ini diperparah oleh setan Chaufimisme). Baik di Tibet, Maroko, Afrika Selatan (tempo dulu), ataupun di Indonesia kayaknya sama saja. Saya masih ingat teman-teman saya yang mengatakan bahwa orang-orang Jawa di Papua tidak disenangi oleh penduduk lokal, ini adalah suatu bentuk kecemburuan, dan kecemburuan itu boleh-boleh saja menurut saya. Lebih-lebih di Tibet, RRC agresif nya kayak gitu, pasti orang-orang Tibet menderita batin, dan mereka menyingkir ke India.
Stop Invasi, stop pendudukan asing, stop chaufimisme, stop pemaksaan kehendak, kemerdekaan bagi Tibet, RRC keluar dari Tibet, segera…!