Selasa, Februari 17, 2009

The Last Communist in Thailand

Apa yang terbesit dalam pikiran Anda saat mendengar kata “Komunis”?

Setiap orang pasti memiliki keinginan agar hidup ini tidak banyak kesulitan dan mudah mendapatkan penghasilan. Hidup ini juga harus adil, tentunya bagi mereka yang merasa hidup ini tidak adil dalam konteks penghasilan hidup, bagi mereka yang sudah kaya hidup ini sudah adil.

Mungkin ketika mengamati buruh yang harus bekerja selama 12 jam sehari dengan upah rendah sementara mereka yang ‘memiliki’ pekerja tersebut bisa dengan santai menunggu hidangan makan di meja mereka, maka sambil menggaruk kepalanya (mungkin) seseorang di Jerman sana pada abad-19 mulai menulis pendapatnya mengenai “Kapital” dalam buku teramat tebal berjudul “Das Kapital”, nama orang itu Karl Marx.

Cita-cita Marx dalam menghapuskan perbedaan kelas antara kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (pekerja) sangat menarik, artinya tidak ada lagi orang (atau kelompok) yang bisa menindas orang lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata, “Bertindaklah dengan cara sedemikian rupa sehingga kamu selalu menghormati perikemanusiaan,” kata rekan Jermannya yang lebih senior Immanuel Kant yang lahir tahun 1724.

Dan tibalah saat genderang itu ditabuh di tahun 1848 ketika Manifesto Komunis dibacakan oleh Marx dan kawannya Engels, dengan semboyan yang terkenal “Buruh di seluruh negeri, bersatulah!”. Kekuasaan politik mutlak diambil alih agar tercapai cita-cita menjadikan masyarakat komunis, masyarakat tanpa kelas lagi dan semunya adil.

Sialnya bagi Marx, atas nama komunisme telah banyak terjadi pertumpahan darah, perang ideologi, dan akhirnya cita-citanya ditafsirkan menurut versi sendiri-sendiri oleh orang-orang seperti Mao, Pol Pot, Stalin, Kim Il-Sung, dan banyak lagi, sehingga banyak nyawa yang mungkin saja proletar melayang.

Di negeri kita kata komunis digunakan untuk menghina orang yang dianggap tidak bermoral, misal dalam umpatan, “Dasar PKI!”, “Komunis lu!”, dan seterusnya. Ia jadi masalah ketika ada beberapa buku pegangan pelajaran sejarah untuk siswa-siswi SMP dan SMU tidak mencatumkan “PKI” di belakang “G30S”. Ia merupakan film wajib yang harus ditonton di TVRI ketika tanggal 30 September sudah datang, namun temanya mengenai ‘kekejaman’ PKI, ketika sosok DN Aidit, ketua legendarisnya, digambarkan seperti mafia. Tiada tempat bagi PKI dan anak-cucunya di negeri ini pada era ketika Orde Baru masih bekuasa. Ketika kita menanyakan tentang kebijakan penguasa, maka siap-siaplah diberi label “komunis”, “subversif”, dan penjara adalah rumah Anda.

Cita-cita menginginkan masayarakat yang adil memang tidak terikat bagi mereka yang memercayai doktrin komunis saja. Mother Teressa dan Gandhi sama sekali tidak pernah dikaitkan dengan komunis.

Saya lalu bertemu dengan Vipar Daomanee, seorang dosen di Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand. Seorang ibu bermata sedih yang merupakan korban dari tindakan ‘penertiban mahasiswa’ oleh militer tahun 1976 di Universitas Thammasat dan ia adalah salah satu dari ribuan orang yang bersembunyi.

Ibu Vipar sangat sedih dengan keadaannya waktu itu. Terlebih lagi ketika PM Thailand waktu itu (Juni 2008) Samak Sundaravej menyangkal terjadinya peristiwa itu dengan mengatakan ‘hanya’ 1 orang yang terbunuh. Dia sedih mengapa seseorang bisa begitu merendahkan nilai kemanusiaan.

Dia yakin dengan pendirian komunisnya, sangat yakin. Dia bercita-cita melihat dunia ini tidak ada lagi penindasan dari manusia terhadap manusia. Ketika ditanyakan kenapa komunis sudah membunuh banyak orang, seperti genosida oleh Pol Pot di Kamboja, dia dengan tegas mengatkan bahwa itu bukanlah cita-cita komunis, ia hanya membawa nama komunis. Komunis sejatinya adalah keadilan bagi semuanya.

Lalu bagaimanakah caranya mencapai tujuan komunis itu? Mutlak.. salah satunya adalah lewat jalur politik. Sambil menunggu menuju cita-cita komunis tercapai, kelompok mereka tentunya melakukan pendidikan bagi rakyat juga.

Berbicara mengenai ideologi komunis tidak akan selesai hanya dalam waktu singkat. Panjangnya jejak sejarah yang telah ditandai atas nama komunis akan membuat kata yang satu ini menemui panggungnya di suatu kala dan menemui ajalnya di saat kini.
Namun ide tentang masyarakat yang adil dan makmur tentu bukan misi komunis semata. Kaum kulit hitam bisa mendapatkan hak sebagaimana yang didapatkan kaum kulit putih, begitu juga kaum wanita terhadap kaum pria yang membuat kata “Feminis” muncul ke permukaan, merupakan contoh sebuah perjuangan mendapatkan kesetaraan di suatu masa di dunia ini.

Dan ini akan terus berlangsung ketika masih banyak orang yang merasa adanya ketidakadilan di dunia ini, entah atas nama komunis, perdamaian, keadilan, agama, etika, kesetaraan, dan lain-lain.

Tapi ngomong-ngomong masihkah kita merasa benci yang entah kenapa muncul begitu saja ketika mendengar kata komunis? Benar-benar sebuah kata yang legendaris. :)

Keterangan gambar: Vipar Daomanee

1 komentar:

  1. Dalam sejarahnya umat manusia suka keterlaluan dalam mempercayai sesuatu serta bertindak berlebihan untuk “membela” sesuatu yang dia percayai. Sesuatu yang pada awalnya diniatkan menjadi baik, seiring dengan berjalannya waktu dan bergantinya generasi mengalami distorsi makna, sehingga cita-cita awalnya tidak lagi mengena. Tidak hanya komunis yang mengalami nasib buruk, agama yang dulunya “diniatkan” untuk kebaikan, keadilan, kedamaian, kasih sayang dan lain-lain, seringkali malah menjadi penyebab dari terbunuhnya berjuta-juta orang, mungkin ratusan juta, mungkin lebih. Rebutan Jerusalem contohnya. “Tidak ada lagi kasih sayang kepada orang-orang kafir, bunuh mereka demi tegaknya agama kita” tragis cita-cita luhurnya tidak .
    Mungkin dulunya komunis dicita-citakan untuk keadilan dan kesejahteraan bersama. Pencetusnya adalah seorang berhati mulia yang tidak dapat duduk berpangku tangan melihat ketidak adilan meraja-lela. Namun seringkali “label” komunis dipakai dan dibawa-bawa oleh para tiran atau para kawanan serta Junta untuk menegakan aturan super kaku tertentu untuk mencapai tujuan yang mereka anggap mulia. Cirinya adalah seringnya terjadi pemaksaan, eksekusi mati, penge-cap-an penghianat (karena kurangnya kebebasan berpendapat), dan tindakan-tindakan memaksakan hukum yang kaku lainnya. Yang jelas berkali-kali dalam sejarah terekam suatu tindakan tragis kemanusiaan serta tindakan tidak bermoral lainnya yang mengatasnamakan komunisme. Konyol, lagi-lagi cita-cita luhurnya tidak mengena.
    Indonesia juga pernah mengalami bencana kemanusiaan sehubungan dengan komunisme, kali ini korbannya orang-orang komunis itu sendiri. Kasihan mereka, jutaan dari mereka dibantai, serta anak keturunan mereka dianak-tirikan oleh pemerintah waktu itu. Sungguh kuat propaganda yang dilancarkan waktu itu, hingga hari di mana saya mengetik kalimat ini, saya masih mendengar orang berkata “PKI…!” dengan nada tinggi, dengan menuding ke layar TV yang menayangkan pelaku perkosaan. Saya juga seringkali keselip lidah dengan nyeletuk berkata “PKI…!” dengan nada tinggi ketika sedang jengkel dengan perilaku orang yang tidak tahu aturan. Ini tidak baik… jelas-jelas tidak baik…
    Namun seringkali karena komunisme dihadapkan langsung dengan kapitalisme, dimana orang mengatakan bahwa seorang kapitalis adalah babi gemuk penghisap yang kerjaannya menimbun-nimbun kekayaan. Padahal tidak secara keseluruhan nilai-nilai kapitalis itu negatif, ada juga sisi positifnya. Ada beberapa etika bagi seorang kapitalis yang mencapai tingkatan Sophisticated investor ,untuk mengembalikan hasil keuntungan dari perputaran uang kembali ke masyarakat. Rockeffeler, Ford, Noble, Bill Gates, dan banyak lagi contohnya, adalah para kapitalis yang baik dan beradab.
    Yang penting orang harus mengerti bahwa perikemanusiaan yang harus menjadi prioritas. Mau berpaham apapun, mau kapitalis, mau komunis, semuanya bisa menjadi baik, asal dikontrol. Yang menjadi pengontrol adalah perasaan dan perikemanusiaan. Bertindakalah dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kamu selalu menghormati perikemanusiaan – Immanuel Kant. Berhenti memandang rendah ideologi Komunis – Sosialis, berhenti memandang rendah Kapitalis, junjung tinggi nilai-nilai perikemanusiaan.

    BalasHapus