Victory Monument, Bangkok
Mereka terpaksa memilih meninggalkan kampung halaman dengan sebuah harapan kehidupan yang lebih baik, namun tidak selalu demikian.
Pagi-pagi jam 6 saya sudah harus meninggalkan penginapan untuk menuju ke Victory Monument yang terletak di bagian Utara kota Bangkok. Kawan saya bernama Pa Pa (yang artinya bersinar), seorang gadis Myanmar akan menemui saya di sana untuk mengajak melihat kehidupan tenaga kerja ilegal maupun legal di suatu daerah di Thailand bernama Samut Sakhon, yang ditempuh sekitar satu jam dari Bangkok.
Dua kakak perempuan dan laki-laki Pa Pa sudah bekerja di Samut Sakhon sebagai seorang buruh. Samut Sakhon adalah daerah yang memiliki banyak pabrik produk perikanan yang banyak memakai tenaga kerja ilegal dari Myanmar sebagai buruhnya. Pa Pa juga merupakan mantan tenaga kerja di daerah ini ketika ia sedang berada di usia yang masih muda, 15 tahun, dan menghabiskan masa-masa mudanya selama tiga tahun yang tidak membahagiakan, karena hanya diisi dengan bekerja plus dengan status ilegal.
Agar saya bisa melihat langsung bagaimana kehidupan mereka, maka tawaran Pa Pa saya terima. Saya ditemani kawan saya seorang gadis dari Singapura bernama Jacinta yang tidak saya sangka juga tertarik untuk melihat kehidupan mereka. Berasal dari sebuah keluarga mapan di Singapura, negara yang segalanya serba bersih, rapih, dan kaya, saya merasa akan menjadi sebuah pengalaman tersendiri baginya ketika akan bersentuhan langsung dengan kehidupan mereka yang kurang beruntung.
Setelah sampai di Victory Monument, kami akhirnya bertemu kawan kami, Pa Pa, setelah sempat menunggu sebentar serta saling mencari lewat komunikasi telepon selular untuk memastikan posisi kami secara tepat, maklum lokasi Victory Monument agak luas.
Begitu bertemu, kami langsung berangkat dengan menggunakan transportasi umum sejenis bison, namun sangat nyaman, tidak berdesak-desakan dan tidak mencari penumpang di tengah perjalanan.
Perjalanan satu jam tidak terasa telah kami tempuh karena Jacinta dan saya tidur terlelap di dalam mobil setelah semalam kami kurang tidur untuk menemani kawan kami yang harus kembali pulang ke negara mereka.
Tibalah kami di Samut Sakhon. Kota ini bukanlah kota yang ramai karena ia terdapat di pinggiran kota. Terdapat banyak pabrik di sana dan kebanyakan pabrik pengolahan hasil laut. Lalu lintas sangat lengang.
Kami di sambut oleh seorang pria berkulit gelap yang saat ini aktif di LSM yang membela dan mendampingi tenaga kerja asal Myanmar dalam menghadapi berbagai macam rintangan yang mereka hadapi selama bekerja di Thailand. Myo Thaw namanya, seorang Myanmar yang merupakan mantan buruh juga.
Dengan mengendarai ‘bajaj’ khas Thailand, tuk-tuk, kami diajak ke kantor Labour Rigths Promotion Network (LPN), tempat Myo Thaw aktif di sana.
(dari Kanan) Pa Pa, Jacinta, Myo Thaw, dan saya di depan kantor LPN
Pertanyaan sederhana yang saya lontarkan ialah mengapa banyak pencari kerja asal Myanmar yang nekat untuk mengadu nasib ke Thailand. Sebuah pertanyaan yang seharusnya mudah ditebak jawabannya.
“Sangat susah mencari kerja di Myanmar, apalagi dengan situasi politik Myanmar yang dipimpin pemerintahan Junta militer, banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.”
Kebanyakan dari imigran berasal dari daerah pedesaan Myanmar yang berdekatan dengan Thailand, terutama di daerah bernama Mon (Dalam Bahasa Inggris, Mon State). Mereka bukan etnis Burma, etnis yang berkuasa di Myanmar. Negera ini juga menghadapi permasalahan perpecahan dan ketidakpercayaan antarkelompok etnis yang tidak mudah.
Pemerintah Junta militerlah yang memperparah kondisi ini dengan mengirimkan tentara beretnis Burma atau meletakkan seseorang beretnis Burma di daerah yang sama sekali bukan asal orang tersebut sebagai kepala daerah. Saya benar-benar sulit memahami susahnya kondisi hidup orang-orang di Myanmar.
Kami juga bertemu dengan Sompong Srakaew, ketua dari LPN, dan ia orang Thailand. Pria berambut gondrong ala seniman ini berkata bahwa undang-undang perlindungan terhadap buruh, baik domestik maupun buruh asing, sudah ada dan baru saja disahkan, namun dalam pelaksanaannya harus terus dikawal karena belum tentu semua birokrat paham mengenai hukum yang telah berlaku itu.
Pikiran saya sejenak melayang kepada aktivis-aktivis penuh dedikasi yang juga bisa kita temui di negeri kita. Permasalahan tenaga kerja ilegal Indonesia yang kebanyakan mengadu nasib di Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Hong Kong, Taiwan, dan banyak negara lainnya harus mereka tangani. Tidak sedikit yang akhirnya terjerat oleh penipu yang memasukkan tenaga kerja ilegal tersebut (yang kebanyakan perempuan) ke dalam jaringan perdagangan manusia yang terorganisasi rapih.
Pa Pa, yang juga untuk pertama kalinya mengunjungi kantor LPN saat itusecara spontan diminta untuk mengisi sebuah kelas kecil buat anak-anak sebagai guru. Anak-anak tersebut usianya bervariasi sekitar 10-15 tahun. Orang tua mereka merupakan para pekerja yang sudah lama menetap di Thailand, sehingga anak mereka akhirnya lahir di Thailand, namun masih tetap bisa berbahasa Myanmar selain berbahasa Thai untuk pergaulan mereka, dan tetap tidak melupakan akar budaya mereka sebagai orang Myanmar berkat didikan orang tua mereka. Kelas kecil yang diadakan rutin oleh LPN ini bertujuan untuk memberi keterampilan tambahan buat anak-anak tersebut dan agar mereka tetap bisa saling berkumpul.
Pa Pa sedang mengajarkan Bahasa Inggris ke anak-anak pekerja
Jacinta dan saya juga bergabung bersama mereka, sembari Pa Pa memberikan pelajaran Bahasa Inggris ke mereka agar bisa berkomunikasi dengan kami, orang Singapura dan orang Indonesia. Mereka sangat senang mendapat kunjungan dari negara yang berbeda, menyapa dan bertanya ke kami dengan langsung mempraktekkan kalimat Bahasa Inggris yang sudah diajarkan Pa Pa ke mereka. Mata anak-anak yang kebetulan semuanya perempuan itu memancarkan semangat dan kebanggaan yang meskipun ‘asing’ tengah berada di negeri orang, mereka terus ingin belajar dan bisa mendapatkan hak yang sama dan tidak diperlakukan sebagai ‘orang asing’ di sekolah.
Berfoto bersama setelah belajar
Selama di kantor setelah kelas berakhir, saya diajak Pa Pa untuk melihat proses pendampingan seorang tenaga kerja ilegal yang datang dengan muka sedih. Myo Thaw bertindak sebagai penerjemah dari Bahasa Myanmar ke Bahasa Thailand untuk para pengurus LPN, dan Pa Pa bertugas untuk menerjemahkan Bahasa Myanmar ke Bahasa Inggris agar saya bisa mengetahui apa yang terjadi.
Pekerja yang datang melapor bahwa setelah ia lama bekerja dengan status ilegal, ia kali ini harus berhadapan dengan petugas yang meminta surat-surat darinya. Biasanya petugas tersebut diberi uang suap. Entah apa persisnya yang terjadi kali ini, sehingga dengan tidak adanya surat yang dimaksud ia terancam harus meninggalkan pekerjaannya dan kembali di ke Myanmar, negara yang tidak menjanjikan sebuah kehidupan yang layak buatnya. LPN harus menghadapi dan menangani laporan-laporan sepeti ini tiap harinya. Permasalahan yang dihadapi para pekerja ilegal Myanmar juga bervariasi, mulai dari kelengkapan dokumen, kekerasan majikan, sekolah anak mereka, pekerja di bawah umur, hingga yang paling menyedihkan pelecehan seksual yang dialami pekerja perempuan.
Sebenarnya banyak di antara mereka yang berat meninggalkan tanah air mereka dan datang ke Thailand juga dengan penuh risiko (dan belum tentu menjanjikan kehidupan yang layak juga), namun bekerja di Thailand memberikan harapan lebih daripada menetap di Myanmar.
Perjalanan di Samut Sakhon menginjakkan tahap akhirnya ketika Pa Pa mengajak kami sambil ditemani Myo thaw untuk menemui kedua kakaknya. Sebelum ke ‘rumah’ kakak Pa Pa, Myo Thaw mengajak kami semua ke sebuah daerah rumah bertingkat yang menjadi tempat indekos pekerja-pekerja Myanmar. Tepat di belakang jejeran rumah itu bisa terlihat sebuah pabrik seafood tempat mereka bekerja. Daerah tersebut benar-benar merupakan sebuah ‘perkampungan’ Myanmar karena seluruh penghuni daerah tersebut merupakan pekerja-pekerja Myanmar. Tidak sedikit di antara mereka yang berusaha sampingan dengan menjual makanan Myanmar atau produk-produk Myanmar.
Jacinta dan Pa Pa di kompleks 'perkampungan' Myanmar. Rumah-rumah di sekitar merupakan tempat para pekerja menyewa kamar untuk tinggal
Myanmar. Sebuah negara yang telah lama dipimpin oleh Junta militer yang tidak memberi toleransi terhadap kritik dan memimpin secara tangan besi dan diktator. Mereka bahkan pernah membatalkan sebuah hasil pemilu di bulan Mei tahun 1990 yang dimenangi National League for Democracy (NLD) dengan 70% suara. Junta tidak ingin turun tahta. Pemimpin NLD, Aung San Suu Kyi, harus mendekam dalam tahanan rumah sampai hari ini, pendukung-pendukung NLD serta banyak aktivis mahasiswa juga mendapat hukuman serupa. Suu Kyi mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian tahun 1989 atas perjuangannya dalam menggunakan cara tanpa kekerasan dalam menciptakan negeri Myanmar yang lebih baik. Saat ini Myanmar tercatat sebagai negara dengan penduduk termiskin di dunia.
Secara langsung, saya telah menyaksikan para penduduk Myanmar yang mengadu nasib agar bisa tetap bertahan hidup. Tidak selalu mulus perjalanan mereka. Jumlah mereka di daerah Samut Sakhon saja ribuan, belum terhitung di daerah Thailand yang lain. Sebuah rejim yang egois telah mengorbankan kehidupan banyak penduduknya, mencuri masa-masa yang seharusnya menjadi yang terindah dalam hidup mereka.
Syukurlah masih ada yang peduli dengan mereka. Masih ada orang-orang seperti Sompong dengan LPN-nya yang dengan gigih membantu para pekerja malang itu. Para imigran tersebut tentu tidak ingin anak-anak mereka, generasi yang lahir bukan di tanah air mereka sendiri, mengalami nasib yang serupa dengan mereka, dan anak-anak tersebut telah menunjukkan semangat yang membuat saya terenyuh, karena apa yang bisa saya dapatkan di Indonesia saat ini sangat lebih dari cukup dibanding kondisi mereka.
Pengalaman melihat langsung kehidupan mereka yang dengan gigih mempertahankan hidup, membuat saya belajar terhadap satu hal sederhana: Jangan pernah perlakukan orang lain dengan kekerasan dan selalulah saling membantu dan mendukung, karena itu akan membesarkan hati kita dan tetap menjaga harapan bahwa semua ini suatu saat akan berakhir jika dengan sungguh-sungguh diperjuangkan. Kami akan membantu sekecil apapun yang kami bisa kepada sahabat-sahabat Myanmar kami.
Jacinta dengan jujur mengatakan, “Sangat banyak hal yang bisa dipelajari dari mereka.” Sesuatu yang mustahil bisa ia temukan di Singapura. Kami meninggalkan Samut Sakhon dengan satu pengalaman baru yang sulit kami lupakan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar