Jumat, Maret 06, 2009

Perintah Penangkapan Omar al-Bashir


Akankah menyelesaikan konflik dan beranikah ICC melakukannya terhadap pemimpin negara adidaya?

Kita semua patut bersimpati dan bersedih melihat penderitaan korban konflik di Darfur. Area ini luasnya sebesar negara Prancis, terletak di negara Sudan, benua Afrika, yang merupakan negara terbesar ke sepuluh di dunia.

Apa yang sebenarnya terjadi di Darfur? Singkat cerita, sebuah kelompok memberontak melawan pemerintah karena telah menekan kaum kulit hitam Afrika dan terlalu berpihak terhadap etnis Arab. Setelah ‘resmi’ dinyatakan dimulainya konflik pada tahun 2003 (yang sebenarnya telah lama terjadi), maka korban terus berjatuhan.

Masyarakat sipil menjadi target dari milisi bernama Janjaweed yang melakukan pembakaran, pembunuhan, perampokan serta pemerkosaan. Pemerintah menolak telah mempersenjatai dan mendukung milisi ini, namun kondisi nyata di lapangan memberi bukti jauh lebih kuat untuk meragukan pernyataan pemerintah Sudan.

Tidak ada angka pasti berapa jumlah korban kematian atas konflik ini namun diperkirakan mencapai angka 400.000 jiwa. Belum lagi jika kita membayangkan kesusahan korban yang harus menghadapi masa-masa sulit ketika harus terusir dari wilayah mereka dan menghadapi ketidakpastian. Jumlahnya mencapai angka 2,5 juta jiwa. Sulit membayangkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup di tengah ketakutan dan kondisi alam yang sangat tidak bersahabat tersebut.

Korban trauma dan tidak bisa hidup tenang dikarenakan milisi berkeliaran seperti hantu yang dengan kejam tanpa ampun siap melakukan kekerasan yang menjijikkan tanpa pandang bulu. Kelaparan dan kekurangan air bersih menambah angka kematian yang terus bergerak menanjak. Saya jadi teringat film “Hotel Rwanda”, dan konon kekejaman yang terjadi sebenarnya jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan apa yang telah digambarkan dalam film itu.

Maka perintah penangkapan terhadap presiden Sudan Omar al-Bashir oleh International Criminal Court (ICC) patut didukung dan disambut setelah cukup bukti untuk menyeretnya ke pengadilan yang bermarkaas di Den Haag tersebut. Sampai tulisan ini dibuat, Bashir menolak dan mengetakan kita tidak akan menyerah kepada kolonialis dan kekuatan Barat.

Konflik di Darfur juga menjadi contoh akan kesalingtergantungan antarnegara dalam perpolitikan internasional. Negara China adalah salah satu negara yang menjual senjatanya kepada pemerintah Sudan, sedangkan Sudan menjamin pasokan minyak ke China. China membutuhkan energi yang besar atas pembangunannya yang pesat belakangan ini. Konflik di Darfur adalah bioskop kehidupan yang nyata jika keserakahan dan wibawa lebih penting nilainya dari nyawa satu orang manusia.

Dengan pengaruhnya yang kuat atas Sudan, China bisa berperan banyak atas konflik yang terjadi di Darfur, apalagi mengingat posisinya sebagai anggota Dewan Keamanan tetap di PBB. Maka, tidak heran jika banyak yang skeptis atas peran PBB untuk menjaga stabilitas dunia karena tidak ada lagi dialog di sana melainkan politik menancapkan pengaruh dan hegemoni negara-negara besar.

Pertanyaan lain yang patut kita ajukan adalah beranikah ICC mengadakan pengusutan terhadap pemimpin negara adidaya seperti Amerika Serikat dan sekutunya seperti Israel?

Tidak heran salah satu alasan keras kepalanya Bashir untuk menolak ditahan seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa ia tidak ingin tunduk kepada negara-negara Barat. Ada bias dalam politik internasional. Pernyataannya tersebut malah membuat ia menjadi semacam pahlawan di negaranya dan puluhan ribu pendukungnya berkumpul untuk memberi semangat dan melontarkan slogan bernada patriotik.

Inilah cermin kekusutan dunia jika politik tidak ditempatkan sebagai alat untuk membawa kesejahteraan bagi banyak orang. Padahal, jika memang tiap pemerintah lebih mementingkan kesejahteraan dibandingkan hegemoni, hampir semua masalah bisa teratasi.

Oleh karena itu, sebuah pelajaran berharga patut kita tempatkan dalam sistem pendidikan kita bahwa berkawan dan saling membantu lebih baik dibandingkan berkompetisi untuk memperebutkan juara. Saya khawatir salah satu penyebab kekusutan ini jika dilacak terdapat dalam sistem pendidikan kita yang harus direvisi besar-besaran. Benarkah demikian?

Keterangan gambar: Omar al-Bashir, Presiden Sudan (diambil dari:www.telegraph.co.uk)

Senin, Maret 02, 2009

Menumpang Popularitas

“Pilih saya! Pilih saya!”

Banyaknya jumlah caleg yang akan berkompetisi pada Pemilu 2009 membuat para caleg berlomba-lomba untuk menampilkan gambar mereka ke masyarakat. Tercatat akan bersaing lebih dari 11.000 caleg untuk memperebutkan 560 kursi di Senayan. Belum lagi caleg DPRD provinsi maupun kota.

Inilah Indonesia yang sedang mencicipi masa kebebasan, demokrasi Indonesia. Setelah lama mengalami kebuntuan dalam berdemokrasi selama Orde Baru berkuasa, maka kali ini kita sepertinya sedang mencari-cari bentuk ideal demokrasi yang bisa diterapkan.

Semua ini sangat memakan ongkos yang tidak murah, baik secara materi maupun moril. Kinerja menjadi wakil rakyat sudah terlanjur mendapat label negatif dengan banyaknya cerita anggota dewan yang tertangkap korupsi, membolos, menumpuk kekayaan, menghamburkan uang dengan studi banding, dan berbagai kisah tidak heroik lainnya.

Sebentar lagi rakyat Indonesia akan dihadapkan pada pesta demokrasi nasional. Rakyat akan kembali diajak untuk memilih orang-orang yang tepat untuk mewakili mereka selama 5 tahun. Sebagian besar dari kita tentu banyak yang tidak mengenal siapa yang hendak dipilih. Apa yang hendak diperjuangkan dengan konkret.

Demokrasi Indonesia. Kita masih butuh perjalanan yang lumayan panjang untuk mendapatkan bentuknya yang ideal. Mereka yang akan berkompetisi hanya memperkenalkan diri dengan pernyataan-pernyataan dan janji akan siap mengabdi dan memperjuangkan nasib rakyat. Seperti apa perjuangannya, kita hanya bisa terbenam dalam ketidaktahuan.

Segala bentuk kreativitas agar poster mereka gampang diingat dikerahkan. Ada yang memasang foto mereka bersama petinggi partai yang merupakan pejabat ataupun mantan pejabat di negeri ini, ada yang memasang gambar artis, ada yang memasang gambar David Beckham dan Obama (beneran!).



Uh demokrasi Indonesia. Seharusnya mereka yang akan berkompetisi harus memaparkan programnya langsung ke masyarakat, diajak bertanya-jawab, bahkan berdebat dengan calon lain. Harus ada lembaga negara ataupun nonpemerintah yang memfasilitasi ini. Sayang, kita masih belum merasakannya. Maka, kita lihat saja kualitas wakil kita tahun ini. Semoga ada perubahan yang lebih baik. Semoga.

Keterangan: Nama caleg yang ditutup dibuat oleh saya

Minggu, Februari 22, 2009

Gross National Happiness ala Bhutan

Sebuah model pembangunan yang mempertimbangkan kebahagiaan dan keadilan

Nama John Perkins mencuri perhatian ketika ia menerbitkan buku Confession of Economic Hit Man di tahun 2004, dilanjutkan terbitan berikutnya The Secret History of The American Empire: Economic Hit Men, Jakals, and the Truth About Global Corruption tahun 2007. Kedua buku ini telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.

Perkins adalah seorang mantan economic hit man (EHM) yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS. Dalam bukunya yang kedua edisi bahasa Indonesia, Budiarto Shambazy, wartawan senior harian Kompas menulis pada kata pengantarnya sebagai berikut: “John Perkins adalah penulis asal Amerika Serikat (AS) yang mengungkapkan kejahatan korporatokrasi yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.” (hal.ix)

Yang dilakukan Perkins, tulis Budiarto lagi, adalah: “Tugas pertama Perkins membuat laporan-laporan fiktif untuk IMF dan World Bank agar mengucurkan utang luar negeri kepada negara-negara Dunia Ketiga. Tugas kedua Perkins membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang yang menggunung, negara pengutang dijadikan kuda yang dikendalikan kusir. Negara pengutang ditekan agar, misalnya, mendukung Pemerintah AS dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Bisa juga negara pengutang dipaksa menyewakan lokasi untuk pangkalan militer AS. Sering terjadi korporatokrasi memaksa negeri pengutang menjual ladang-ladang minyak mereka kepada MNC (multinational corpotarion) milik negera-negara Barat. (hal. ix-x)

Perkins lalu menulis : “Perusahaanku, MAIN, bertugas mengembangkan sistem kelistrikan terpadu yang memungkinkan Soeharto dan kroni-kroninya menggerakkan industrialisasi, menambah kekayaan, dan memastikan dominasi Amerika dalam jangka panjang. Sedangkan tugasku adalah melakukan kajian perekonomian yang diperlukan untuk mendapatkan pendanaan Bank dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID).” (hal. 6)

Dan bermunculanlah proyek-proyek infrastruktur dan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta. Sayangnya proyek pembangunan pada masa “keajaiban ekonomi” tetap tidak bisa memberantas kemiskinan, listrik tetap tidak bsia diakses oleh semua penduduk, dan negara tetap tidak mampu “memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar” seperti yang diamanatkan UUD, gelandangan masih berkeliaran di Jakarta.

Sehingga pada saat krisis ekonomi melanda Asia di tahun 1997, Perkins menulis: “Sepintas, statistik resmi menunjukkan bahwa pekerjaan kami di Indonesia pada 1970-an membuahkan catatan ekonomi yang mengagumkan, setidaknya hingga 1997. Tapi data tentang rendahnya inflasi, total cadangan devisa asing lebih dari 20 juta dolar, surplus perdagangan lebih dari 900 juta dolar, dan ektor perbankan yang mantap, tak lebih hanyalah omong kosong....Para ekonom di Bank Dunia, IMF, firma konsultan, dan lembaga akademis memanfaatkan data itu untuk menyatakan bahwa kebijakan pembangunan yang kami, para Bandit Ekonomi, promosikan terbukti sukses."(hal. 32-33)

“Keuntungannya hanya dirasakan oleh kelas ekonomi tertinggi. Peningkatan pendapatan nasional yang pesat itu dicapai dengan jalan mengeksploitasi buruh murah dalam jumlah besar di tempat-tempat menguras tenaga dan tidak memerhatikan sisi keamanan. Belum lagi berbagai kebijakan yang mengizinkan korporasi asing merusak lingkungan dan menjalan kegiatan yang dilarang di Amerika Utara dan Eropa.” (hal. 33)

Dalam buku (kedua) setebal 465 halaman ini, Perkins juga menulis mengenai perjalanannya dalam melakukan "tugas-tugas"nya di berbagai belahan dunia seperti di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, dan Asia.

PAda akhirnya, Perkins, yang akhirnya memilih mundur sebagai EHM dan nekat menulis buku ini, menawarkan solusi untuk mengubah sistem ekonomi saat ini yang sangat tidak memerhatikan etika, faktor manusia, budaya dan lingkungan. Masih banyak detail dan fakta menarik yang bisa diambil dan dipelajari dari buku Perkins sehingga kita bisa mendapatkan sumber yang seimbang setelah selama Orde Baru masih berkuasa, kebebasan kita untuk memperoleh informasi sangatlah minim.

Setelah melihat bagaimana ekonomi dunia umumnya dijalankan apakah ada negara yang mencoba sebuah alternatif ekonomi? (yang bukan tidak mungkin bisa menjadi model ekonomi utama jika terus dikaji).



Mari kita menuju ke negara Bhutan. Sebuah negara yang tidak memiliki laut sama sekali karena terletak di kaki pegunungan Himalaya. Jumlah penduduknya 670 ribu-an jiwa. Negara ini menjadi sorotan ketika pada tahun 1972, raja mereka waktu itu Jigme Singye Wangchuck menerapkan sebuah sistem pembangunan yang mengutamakan Gross National Happiness (GNH) dari penduduknya, sebuah istilah yang dibuat oleh sang raja.

Empat pilar yang menjadi semacam “UUD” dari GNH adalah:
1. Mempromosikan pembangunan ekonomi yang adil dan ramah lingkungan.
2. Pelestarian dan promosi nilai-nilai budaya.
3. Melindungi (konservasi) lingkungan alami.
4. Menciptakan pemerintahan yang sehat.

Apa tujuan dari GNH ini? Secara singkat, GNH bertujuan untuk menyeimbangkan nilai-nilai dari pengembangan materi dan spiritual agar saling mendukung satu sama lain, menciptakan masyarakat yang harmonis. Kebahagiaan dicapai bukan dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya saja, tetapi juga faktor kebahagiaan individu dan keadilan harus diperhatikan.

Sehingga dalam melaksanakan sebuah proyek pembangunan, Pemerintah Bhutan akan lebih dulu mempertimbangkan sembilan nilai yaitu:

1. Psychological Well-being
2. Time Use
3. Community Vitality
4. Culture
5. Health
6. Education
7. Environmental Diversity
8. Living Standard
9. Governance


Sehingga jika salah satu dari kesembilan nilai ini ada yang terganggu maka proyek tersebut harus dipertimbangkan kelanjutannya. Sangat menarik, karena ia tidak hanya mempertimbangkan berapa banyak uang yang bisa didatangkan dari suatu proyek.

Untuk mendiskusikan dan mematangkan konsep GNH, maka secara rutin diadakan konferensi internasional mengenai GNH, yang mengumpulkan berbagai pemikir untuk terus mengkaji agar sistem GNH bisa diterapkan. Tidak lupa, konferensi ini juga memiliki program buat para pemuda sehingga pemuda juga bisa menyumbangkan pemikirannya.

Kawan saya asal Bhutan, Sonam Jamtsho, selalu bersemangat jika menceritakan mengenai proyek GNH Bhutan. Meski belum sepenuhnya sempurna, ia mengatakan bahwa kebaikannya masih lebih banyak. Sonam adalah seorang pekerja pemerintahan di bidang pemuda dan olah raga. Ia disekolahkan oleh pemerintah di Australia untuk mendukung program kepemudaan di Bhutan.



Sebuah model pembangunan yang ditawarkan negara Bhutan sangat menarik untuk dipelajari sebagai alternatif di antara banyak alternatif yang ditawarkan. Permasalahan pemanasan global, kerusakan hutan dan lingkungan, pendidikan yang mahal, serta banyaknya tenaga kerja kita yang menjadi tenaga kerja di negeri orang, merupakan sebuah bukti bahwa negara ini masih berjuang untuk menjadi lebih baik.

Di akhir bukunya pada halaman 451, John Perkins menutup dengan seruan optimis: “Telah tiba saatnya bagi kita untuk mengambil berbagai tindakan itu. Kita mempunyai semua yang bisa kita perlukan untuk mewujudkan sebuah visi baru, semua sumber daya, jaringan, dan sistem. Dalam tahun-tahun terakhir ini, kita juga telah menyadari bahwa kita memiliki semua kemauan itu. Kita – Anda dan aku – punya semua peralatan yang diperlukan.”

“Sekaranglah saatnya kita mengubah dunia.”

Sumber bacaan:
1. Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga. Penulis: John Perkins. Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, 2007
2. http://www.gnh-movement.org
3. http://www.grossnationalhappiness.com

Keterangan gambar:
(Atas) Uang 10 Ngultrum, uang dari negara Bhutan pemberian dari Sonam Jamtsho
(Bawah) Sonam Jamtsho/kiri dan saya

Sabtu, Februari 21, 2009

Melakukan Segalanya untuk Menumbuhkan Kesadaran

Untuk apa mereka mau melakukan ini semua?

Selalu menyedihkan jika setiap kita membuka koran dan mendapati berita mengenai meletusnya konflik di mana-mana, terjadinya kerusakan lingkungan, korupsi, dan lain-lain. Banyaknya kejadian yang buruk yang tampaknya tidak berujung tersebut telah membawa beberapa di antara kita terjun ke dalam jurang pesimisme dan berkata, “Mungkinkah kita dapat menciptakan dunia lebih baik?”

Munculnya pertanyaan di atas sudah merupakan hal yang klasik. Melihat begitu sulitnya permasalahan yang dihadapi umat manusia membuat banyak di antara kita tidak mau berpikir dan skeptis terhadap berbagai usaha dan kampanye yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kepercayaan mendalam untuk bekerja demi kehidupan yang lebih baik. Mungkin mereka dikatakan sok heroik dan buang-buang tenaga saja.

Namun, banyaknya berita buruk yang kita dapat dari berbagai media bukan berarti usaha-usaha dari mereka yang berupaya untuk menciptakan dunia yang lebih baik telah gagal. Jika kita melihat konflik antara Israel dan Pelestina yang terus berkelanjutan, maka bukan berarti tidak pernah ada usaha yang dipikirkan dan dilakukan agar permasalahan ini bisa berakhir.

Jika kita semua berpikir bahwa upaya sekecil apapun yang kita lakukan akan sia-sia dan tidak membawa hasil, maka tidak akan ada yang bergerak untuk berupaya mengakhiri sebuah permasalahan sehingga potensi masalah itu menjadi kian berlarut-larut lebih besar.

Maka, kita tidak perlu heran mengapa banyak lembaga yang menawarkan sebuah pertukaran pelajar internasional (contohnya lembaga Rotary Club, Chevening, Ford Foundation, Proworld dsb.) atau mengadakan pertemuan bagi para pemuda lintas negara, karena mereka yakin bahwa dengan cara seperti ini pemuda antarbangsa bisa berkomunikasi dan saling memahami satu dengan lainnya dengan lebih baik. Saya bahkan pernah mengetahui adanya pertemuan bagi pemuda Israel dan Palestina yang disponsori oleh sebuah lembaga yang peduli.

Jika kita mengukur konflik yang terus terjadi antara Palestina dan Israel, misalnya, dan menganggap pertemuan antarnegara yang dilsponsori oleh lembaga-lembaga tersebut telah gagal, maka saya yakin kita telah kehilangan setitik harapan untuk menciptakan saling pengertian antarbangsa. Syukurlah lembaga-lembaga tersebut masih yakin dengan cita-cita mereka dan getol memberikan beasiswa bagi banyak pemuda di berbagai negara.

Maka jangan heran jika segala usaha mereka lakukan untuk menyebarkan informasi dan membangkitkan kesadaran masyarakat yang belum mendapatkan informasi mengenai sebuah isu.

Greenpeace, contohnya, tidak lelahnya melakukan aksi-aksi terhadap mereka yang dianggap merusak lingkungan, salah satunya dengan cara mengecat dengan menuliskan “Penjahat Lingkungan” sebuah kapal pengangkut kayu selundupan ilegal, mengganggu kapal yang menangkap ikan secara merusak, membentangkan spanduk protes, demonstrasi, dan lain-lain. Namun, bukan berarti Greenpeace hanya bergerak jika ada kejadian, sehingga beberapa orang skeptis menganggap hanya mencari sensasi. Tentunya karena kejadian tersebut unik sehingga ia diliput media massa. Tidak terhitung upaya-upaya kecil Greenpeace yang tidak terliput media massa karena “tidak mempunyai nilai berita” (beberapa media, artinya tidak semuanya, membutuhkan berita yang ‘layak jual’, seperti berita perang, skandal, atau yang bersifat unik) seperti penyuluhan, mengarahkan para relawan, atau menerbitkan laporan-laporan mengenai lingkungan.





Al Gore, sang peraih Nobel Perdamaian, tidak henti-hentinya memberikan presentasi untuk mengampanyekan akan bahayanya pemanasan global (global warming). Dalam film dokumenternya yang tersohor “An Inconvenient Truth” ia mengingatkan bahwa, “Semua pilihan ada di tangan kita. Kita harus memiliki kegigihan untuk mewujudkannya. Apakah kita tertinggal sementara seluruh dunia bergerak maju (dalam mencegah terjadinya pemanasan global),” menyinggung mengenai belum ditandatanganinya Protokol Kyoto oleh Pemerintah Amerika. Ia tidak lelah membangkitkan kesadaran rakyat Amerika dan kita semua.

Grup musik Slank juga membuat lagu yang berhubungan dengan bahaya korupsi yang merajalela di Indonesia.

Upaya-upaya melalui jalur politik juga memunculkan nama seperti Marthi Ahtisaari, sang penengah antara GAM dan RI, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, dan banyak nama yang kontribusinya tidak sedikit.

Masih ada banyak individu dan lembaga di seluruh dunia yang tidak semua usahanya bisa diliput media, namun itu bukan berarti bahwa mereka tidak melakukan sesuatu. Perbuatan sekecil apapun dari kita jika akan bermanfaat untuk setiap langkah maju dalam mendukung usaha menuju sebuah perbaikan, bahkan jika perbuatan itu kira terapkan seminim mungkin yaitu hanya untuk diri kita sendiri seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak korupsi, tidak menipu, berani mengakui kesalahan dan meminta maaf, tidak berkonflik dengan orang lain, dan lain-lain.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyebarkan informasi dan membangun kesadaran, karena tidak mustahil ada salah satu di antara yang mendapatkan informasi tersebut tergerak hatinya untuk ikut mendukung berbagai macam kampanye yang ditawarkan.

Oleh karena itu, teruslah bergerak dan bekerja, sesuai dengan kapasitas dan kegemaran kita masing-masing. Tidak mudah tetapi menyenangkan :)

Gambar diambil dari:
1. http://www.greenpeace.org.uk/media/press-releases/greenpeace-activists-defend-dogger-bank
2. http://www.thelohasian.com/2008/02/greenpeace-protest-of-airport-expansion.html

Jumat, Februari 20, 2009

Nasi Gandul di Kota Juwana

Namun selera makan tiap orang tidaklah sama

Cobalah sekali-kali jika sedang melintasi pantura Jawa, singgahlah di kota Juwana tepatnya di alun-alunnya. Jalur pantura pasti melewati alun-alun tersebut. Dari alun-alun kota carilah SDN 1, dengan berjalan ke arah utara, atau gampangnya tanya saja orang-orang di sekitar sana di mana penjual nasi gandul. Semua orang akan tahu, rasanya.

Inilah salah satu makanan yang membuat saya tergila-gila untuk ingin selalu mencicipinya. Hanya sepiring nasi dan dituangi kuah. Entah apa bumbu yang dipakai untuk membuat kuah tersebut, saya lalai menanyakannya. Tersedia juga daging tambahan dan tempe jika ingin menambah.

Harganya per piringnya juga tidak saya tanyakan, tetapi sebagai gambaran dua piring nasi gandul plus dua gelas es teh manis total harganya Rp 9.000, nah tidak terlalu mahal kan?



Kesempatan untuk mencicipi nasi gandul dimulai akhir tahun 2007, ketika rombongan HIKMAHBUDHI ingin mampir ke rumah saudara kami, Isyanto, di desa Pekuwon, Juwana. Isyanto mengajak kami, rombongan yanag sedang kelaparan setelah menempuh perjalanan jauh dari Boyolali.

Tidak saya sangka-sangka saya begitu menikmati makanan yang satu ini. Saya sampai menambah tiga kali. Itu yang pertama.

Tahun berikutnya, di akhir tahun 2008, saya mendapat kesempatan lagi berkunjung ke kota Juwana. Tidak perlu ditanya lagi, incaran pertama saya adalah nasi gandul. Kali ini saya yakin bahwa nasi gandul memang enak karena saya tidak dalam keadaan lapar luar biasa karena menempuh perjalanan jauh atau sejenisnya.

Namun tidak semua merasa cocok dengan rasa nasi gandul. Beberapa kawan yang bersama saya di rombongan di akhir tahun 2008 kemarin menyatakan ketidaksukaannya terhadap nasi gandul. Yah, akhirnya memang selera makan tiap orang yang menentukan sikap terhadap suatu makanan :)

Jika Anda tertarik untuk mencoba variasi makanan asli tanah air yang unik, saya sangat merekomendasikan untuk mampir ke kota Juwana, mencicipi nasi gandul yang benar-benar enak!

Melihat Kehidupan Mahasiswa dari Majalah Jadul

Adakah yang mengenal mereka?

Majalah “Violeta” yang saya temukan di penjual buku-buku bekas ini adalah terbitan 8 Oktober 1974 edisi ke-126. Saya lahir beberapa hari sepuluh tahun kemudian. Sudah barang tentu majalah ini tidak lagi bisa kita dapatkan sekarang.



Saya kurang menyimak isi artikel majalah ini sehingga tidak bisa memperkirakan sasaran pembelinya, tidak semudah menebak segmen pembeli majalah anak-anak “Bobo” (yang hebatnya masih bertahan dengan usia yang bahkan lebih tua dari “Violeta” ini).



Namun ada satu halaman yang menarik bernama “Romantika Mahasiswa”. Sebuah rubrik yang menampung cerita-cerita singkat mahasiswa mengenai kehidupan seputar kampus. Rupa-rupanya ada persoalan abadi yang diderita oleh mahasiswa setiap jaman, yaitu kiriman uang jajan yang telat dari orang tua. Oh, tentu bagi mereka mahasiswa perantau yang hidup jauh dan indekos.

“Badan yang memang kurus ini akan jadi bertambah kurus”, kata salah satu artikel mengenai pengalaman mahasiswa indekos.

Membaca majalah lama membuat saya membanding-bandingkan dengan keadaan 35 tahun kemudian dari majalah itu, yaitu saat ini.

Dalam bentangan waktu sepanjang itu, sungguh perubahan drastis yang terjadi sangat luar biasa banyak. Jika pada jaman mahasiswa indekos saat itu, mahasiswa menunggu kiriman “wesel” dari orang tua mereka (kiriman uang), katanya, maka jaman sekarang kita menunggu “transferan”, dan cukup diambil lewat “ATM”.

Jika kiriman telat, maka cukup “SMS” saja maka detik itu juga pesan akan sampai kepada yang bersangkutan. Tentu saja dengan syarat “pulsa” tidak dalam keadaan sekarat, toh kalaupun demikian bisa meminjamkan “HaPe” kawan indekos.

Dengan makin maraknya HaPe dan paket telepon murah, maka sekarang tidak ada lagi yang namanya surat cinta. Kita bisa menggunakan fasilitas SMS dan telepon, dan dijamin langsung menuju ke orang yang dinginkan, he he he.

Belum lagi dengan berkembangnya internet, maka sekarang kaum “blogger” bisa mengekpresikan pengalaman, pemikiran, dan isi hatinya sebebas-bebasnya. Kaum pemilik akun “Facebook” juga makin rajin berinteraksi dengan kawan-kawan yang dekat mapunun nun jauh sekalipun. Foto-foto bisa langsung diunggah (Upload) untuk dibagikan agar bisa dilihat para “friend” di situs jejaring sosial ini.

Oh revolusi teknologi, sesuatu yang tidak dinikmati mahasiswa 35 tahun yang lalu itu mungkin membuat mereka iri, mungkin juga tidak karena tantangannya kurang, kata mantan seorang mahasiswa jadul. Istilah-istilah baru juga bermunculan di belantara pergaulan mahasiswa masa kini, termasuk kata “jadul” yang saya pakai.

Tapi ngomong-ngomong, mengapa di rubrik “Romantika Mahasiswa” majalah jadul itu menampilkan gambar seorang artis yang berpakaian sedemikian sehingga bisa dijerat oleh hukum saat ini. Titik Anggraini, nama artis tersebut, yang tertulis berpose aduhai sehingga membuat hati dag-dig-dug, apalagi di bulan puasa ini. Apakah ini juga cermin dari persoalan abadi yang selalu muncul dalam cunia mahasiswa?



Dunia mahasiswa, dunia yang penuh cerita. Tulisan ini hanya berusaha memotret sebagian kecil di antaranya, bukan berusaha untuk mengatakan dunia mahasiswa hanya berkisar di wilayah “transferan” atau “dag-dig-dug” saja. Masih banyak sisi lain kehidupan mahasiswa, yang sangat menarik untuk diceritakan, betul?

(Jika saya menggunakan kata “mahasiswa” ini juga mencakup “mahasiswi”, karena saya malas menulis “mahasiswa/i”, :) )

Kamis, Februari 19, 2009

Tenaga Kerja Ilegal asal Myanmar


Victory Monument, Bangkok

Mereka terpaksa memilih meninggalkan kampung halaman dengan sebuah harapan kehidupan yang lebih baik, namun tidak selalu demikian.

Pagi-pagi jam 6 saya sudah harus meninggalkan penginapan untuk menuju ke Victory Monument yang terletak di bagian Utara kota Bangkok. Kawan saya bernama Pa Pa (yang artinya bersinar), seorang gadis Myanmar akan menemui saya di sana untuk mengajak melihat kehidupan tenaga kerja ilegal maupun legal di suatu daerah di Thailand bernama Samut Sakhon, yang ditempuh sekitar satu jam dari Bangkok.

Dua kakak perempuan dan laki-laki Pa Pa sudah bekerja di Samut Sakhon sebagai seorang buruh. Samut Sakhon adalah daerah yang memiliki banyak pabrik produk perikanan yang banyak memakai tenaga kerja ilegal dari Myanmar sebagai buruhnya. Pa Pa juga merupakan mantan tenaga kerja di daerah ini ketika ia sedang berada di usia yang masih muda, 15 tahun, dan menghabiskan masa-masa mudanya selama tiga tahun yang tidak membahagiakan, karena hanya diisi dengan bekerja plus dengan status ilegal.

Agar saya bisa melihat langsung bagaimana kehidupan mereka, maka tawaran Pa Pa saya terima. Saya ditemani kawan saya seorang gadis dari Singapura bernama Jacinta yang tidak saya sangka juga tertarik untuk melihat kehidupan mereka. Berasal dari sebuah keluarga mapan di Singapura, negara yang segalanya serba bersih, rapih, dan kaya, saya merasa akan menjadi sebuah pengalaman tersendiri baginya ketika akan bersentuhan langsung dengan kehidupan mereka yang kurang beruntung.

Setelah sampai di Victory Monument, kami akhirnya bertemu kawan kami, Pa Pa, setelah sempat menunggu sebentar serta saling mencari lewat komunikasi telepon selular untuk memastikan posisi kami secara tepat, maklum lokasi Victory Monument agak luas.

Begitu bertemu, kami langsung berangkat dengan menggunakan transportasi umum sejenis bison, namun sangat nyaman, tidak berdesak-desakan dan tidak mencari penumpang di tengah perjalanan.

Perjalanan satu jam tidak terasa telah kami tempuh karena Jacinta dan saya tidur terlelap di dalam mobil setelah semalam kami kurang tidur untuk menemani kawan kami yang harus kembali pulang ke negara mereka.

Tibalah kami di Samut Sakhon. Kota ini bukanlah kota yang ramai karena ia terdapat di pinggiran kota. Terdapat banyak pabrik di sana dan kebanyakan pabrik pengolahan hasil laut. Lalu lintas sangat lengang.

Kami di sambut oleh seorang pria berkulit gelap yang saat ini aktif di LSM yang membela dan mendampingi tenaga kerja asal Myanmar dalam menghadapi berbagai macam rintangan yang mereka hadapi selama bekerja di Thailand. Myo Thaw namanya, seorang Myanmar yang merupakan mantan buruh juga.

Dengan mengendarai ‘bajaj’ khas Thailand, tuk-tuk, kami diajak ke kantor Labour Rigths Promotion Network (LPN), tempat Myo Thaw aktif di sana.


(dari Kanan) Pa Pa, Jacinta, Myo Thaw, dan saya di depan kantor LPN

Pertanyaan sederhana yang saya lontarkan ialah mengapa banyak pencari kerja asal Myanmar yang nekat untuk mengadu nasib ke Thailand. Sebuah pertanyaan yang seharusnya mudah ditebak jawabannya.

“Sangat susah mencari kerja di Myanmar, apalagi dengan situasi politik Myanmar yang dipimpin pemerintahan Junta militer, banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.”

Kebanyakan dari imigran berasal dari daerah pedesaan Myanmar yang berdekatan dengan Thailand, terutama di daerah bernama Mon (Dalam Bahasa Inggris, Mon State). Mereka bukan etnis Burma, etnis yang berkuasa di Myanmar. Negera ini juga menghadapi permasalahan perpecahan dan ketidakpercayaan antarkelompok etnis yang tidak mudah.

Pemerintah Junta militerlah yang memperparah kondisi ini dengan mengirimkan tentara beretnis Burma atau meletakkan seseorang beretnis Burma di daerah yang sama sekali bukan asal orang tersebut sebagai kepala daerah. Saya benar-benar sulit memahami susahnya kondisi hidup orang-orang di Myanmar.

Kami juga bertemu dengan Sompong Srakaew, ketua dari LPN, dan ia orang Thailand. Pria berambut gondrong ala seniman ini berkata bahwa undang-undang perlindungan terhadap buruh, baik domestik maupun buruh asing, sudah ada dan baru saja disahkan, namun dalam pelaksanaannya harus terus dikawal karena belum tentu semua birokrat paham mengenai hukum yang telah berlaku itu.

Pikiran saya sejenak melayang kepada aktivis-aktivis penuh dedikasi yang juga bisa kita temui di negeri kita. Permasalahan tenaga kerja ilegal Indonesia yang kebanyakan mengadu nasib di Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Hong Kong, Taiwan, dan banyak negara lainnya harus mereka tangani. Tidak sedikit yang akhirnya terjerat oleh penipu yang memasukkan tenaga kerja ilegal tersebut (yang kebanyakan perempuan) ke dalam jaringan perdagangan manusia yang terorganisasi rapih.

Pa Pa, yang juga untuk pertama kalinya mengunjungi kantor LPN saat itusecara spontan diminta untuk mengisi sebuah kelas kecil buat anak-anak sebagai guru. Anak-anak tersebut usianya bervariasi sekitar 10-15 tahun. Orang tua mereka merupakan para pekerja yang sudah lama menetap di Thailand, sehingga anak mereka akhirnya lahir di Thailand, namun masih tetap bisa berbahasa Myanmar selain berbahasa Thai untuk pergaulan mereka, dan tetap tidak melupakan akar budaya mereka sebagai orang Myanmar berkat didikan orang tua mereka. Kelas kecil yang diadakan rutin oleh LPN ini bertujuan untuk memberi keterampilan tambahan buat anak-anak tersebut dan agar mereka tetap bisa saling berkumpul.


Pa Pa sedang mengajarkan Bahasa Inggris ke anak-anak pekerja

Jacinta dan saya juga bergabung bersama mereka, sembari Pa Pa memberikan pelajaran Bahasa Inggris ke mereka agar bisa berkomunikasi dengan kami, orang Singapura dan orang Indonesia. Mereka sangat senang mendapat kunjungan dari negara yang berbeda, menyapa dan bertanya ke kami dengan langsung mempraktekkan kalimat Bahasa Inggris yang sudah diajarkan Pa Pa ke mereka. Mata anak-anak yang kebetulan semuanya perempuan itu memancarkan semangat dan kebanggaan yang meskipun ‘asing’ tengah berada di negeri orang, mereka terus ingin belajar dan bisa mendapatkan hak yang sama dan tidak diperlakukan sebagai ‘orang asing’ di sekolah.


Berfoto bersama setelah belajar

Selama di kantor setelah kelas berakhir, saya diajak Pa Pa untuk melihat proses pendampingan seorang tenaga kerja ilegal yang datang dengan muka sedih. Myo Thaw bertindak sebagai penerjemah dari Bahasa Myanmar ke Bahasa Thailand untuk para pengurus LPN, dan Pa Pa bertugas untuk menerjemahkan Bahasa Myanmar ke Bahasa Inggris agar saya bisa mengetahui apa yang terjadi.

Pekerja yang datang melapor bahwa setelah ia lama bekerja dengan status ilegal, ia kali ini harus berhadapan dengan petugas yang meminta surat-surat darinya. Biasanya petugas tersebut diberi uang suap. Entah apa persisnya yang terjadi kali ini, sehingga dengan tidak adanya surat yang dimaksud ia terancam harus meninggalkan pekerjaannya dan kembali di ke Myanmar, negara yang tidak menjanjikan sebuah kehidupan yang layak buatnya. LPN harus menghadapi dan menangani laporan-laporan sepeti ini tiap harinya. Permasalahan yang dihadapi para pekerja ilegal Myanmar juga bervariasi, mulai dari kelengkapan dokumen, kekerasan majikan, sekolah anak mereka, pekerja di bawah umur, hingga yang paling menyedihkan pelecehan seksual yang dialami pekerja perempuan.

Sebenarnya banyak di antara mereka yang berat meninggalkan tanah air mereka dan datang ke Thailand juga dengan penuh risiko (dan belum tentu menjanjikan kehidupan yang layak juga), namun bekerja di Thailand memberikan harapan lebih daripada menetap di Myanmar.

Perjalanan di Samut Sakhon menginjakkan tahap akhirnya ketika Pa Pa mengajak kami sambil ditemani Myo thaw untuk menemui kedua kakaknya. Sebelum ke ‘rumah’ kakak Pa Pa, Myo Thaw mengajak kami semua ke sebuah daerah rumah bertingkat yang menjadi tempat indekos pekerja-pekerja Myanmar. Tepat di belakang jejeran rumah itu bisa terlihat sebuah pabrik seafood tempat mereka bekerja. Daerah tersebut benar-benar merupakan sebuah ‘perkampungan’ Myanmar karena seluruh penghuni daerah tersebut merupakan pekerja-pekerja Myanmar. Tidak sedikit di antara mereka yang berusaha sampingan dengan menjual makanan Myanmar atau produk-produk Myanmar.


Jacinta dan Pa Pa di kompleks 'perkampungan' Myanmar. Rumah-rumah di sekitar merupakan tempat para pekerja menyewa kamar untuk tinggal

Myanmar. Sebuah negara yang telah lama dipimpin oleh Junta militer yang tidak memberi toleransi terhadap kritik dan memimpin secara tangan besi dan diktator. Mereka bahkan pernah membatalkan sebuah hasil pemilu di bulan Mei tahun 1990 yang dimenangi National League for Democracy (NLD) dengan 70% suara. Junta tidak ingin turun tahta. Pemimpin NLD, Aung San Suu Kyi, harus mendekam dalam tahanan rumah sampai hari ini, pendukung-pendukung NLD serta banyak aktivis mahasiswa juga mendapat hukuman serupa. Suu Kyi mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian tahun 1989 atas perjuangannya dalam menggunakan cara tanpa kekerasan dalam menciptakan negeri Myanmar yang lebih baik. Saat ini Myanmar tercatat sebagai negara dengan penduduk termiskin di dunia.

Secara langsung, saya telah menyaksikan para penduduk Myanmar yang mengadu nasib agar bisa tetap bertahan hidup. Tidak selalu mulus perjalanan mereka. Jumlah mereka di daerah Samut Sakhon saja ribuan, belum terhitung di daerah Thailand yang lain. Sebuah rejim yang egois telah mengorbankan kehidupan banyak penduduknya, mencuri masa-masa yang seharusnya menjadi yang terindah dalam hidup mereka.

Syukurlah masih ada yang peduli dengan mereka. Masih ada orang-orang seperti Sompong dengan LPN-nya yang dengan gigih membantu para pekerja malang itu. Para imigran tersebut tentu tidak ingin anak-anak mereka, generasi yang lahir bukan di tanah air mereka sendiri, mengalami nasib yang serupa dengan mereka, dan anak-anak tersebut telah menunjukkan semangat yang membuat saya terenyuh, karena apa yang bisa saya dapatkan di Indonesia saat ini sangat lebih dari cukup dibanding kondisi mereka.

Pengalaman melihat langsung kehidupan mereka yang dengan gigih mempertahankan hidup, membuat saya belajar terhadap satu hal sederhana: Jangan pernah perlakukan orang lain dengan kekerasan dan selalulah saling membantu dan mendukung, karena itu akan membesarkan hati kita dan tetap menjaga harapan bahwa semua ini suatu saat akan berakhir jika dengan sungguh-sungguh diperjuangkan. Kami akan membantu sekecil apapun yang kami bisa kepada sahabat-sahabat Myanmar kami.

Jacinta dengan jujur mengatakan, “Sangat banyak hal yang bisa dipelajari dari mereka.” Sesuatu yang mustahil bisa ia temukan di Singapura. Kami meninggalkan Samut Sakhon dengan satu pengalaman baru yang sulit kami lupakan.

Rabu, Februari 18, 2009

Pemilu oh Pemilu

Ngomong-ngomong "kami" itu siapa?

“Bapak nyoblos siapa pada pemilihan Gubernur (Jawa Timur)kemarin?” tanya saya kepada supir taksi yang mengantarkan saya di Surabaya.

“Wesss, golput Pak!” jawabnya polos.

Golput. Seruan untuk golput pada pemilu mendatang juga datang dari mantan presiden kita Gus Dur beberapa waktu lalu. Tidak memilih siapapun yang akan berkuasa dan “menentukan nasib bangsa ke depan”.




Tahun ini tahunnya pemilu. Para politisi kembali melakukan berbagai manuver agar dapat dipilih dan mendapatkan kekuasaan. Nyaleg istilah populer belakangan ini bagi mereka yang mengajukan diri sebagai calon legislatif dan juga nyapres bagi mereka yang berikrar ingin maju sebagai calon presiden RI.

Kampanye para caleg sudah sangat semarak di berbagai daerah. Setiap tiang listrik dan pohon sudah tertempel gambar, nomor urut, serta partainya. Tapi toh sebenarnya setiap saya melintasi jalanan saya tidak bisa melihat secara rinci siapa mereka yang di pohon itu, ataukah mungkin sasaran konstituennya bukan pengendara kendaraan bermotor seperti saya?

Caleg. Mereka konon memiliki misi untuk memperbaiki keadaan rakyat melalui jalur politik praktis. Banyak di antara mereka yang kita tidak tahu sama sekali latar belakangnya sebelum mencalonkan diri. Program apa yang ingin ditawarkan para caleg itu masih kabur. Perlu ada sebuah sistem agar profil dan rekam jejak mereka bisa diakses oleh publik yang akan mempercayai mereka menentukan kebijakan dan mengkritisi program mereka.

Pemilu ini adalah jilid dua dari pemilu yang menerapkan sistem pemilihan langsung. Surat suara sudah sangat berubah menjadi sangat besar, bukan lagi surat suara kecil yang cukup “satu, buka...dua, coblos...tiga, tutup”, mengingat pemilu-pemilu puluhan tahun lalu yang berlangsung sangat lama dengan sistem satu-dua-tiga itu dengan pemenang pasti partai nomor dua.

Kebebasan menyatakan pendapat di era pasca-Orba ini perlu disambut dengan gembira. Seruan golput haram atau halal bisa bersanding ramai.

Golput. Toh perubahan nyata masih susah dilihat. Pertikaian antarpolitisi yang mencalonkan diri sebagai pimpinan walikota atau gubernur di pilkada-pilkada sebelumnya menjadi berita yang lebih marak dibandingkan hasil kerja dari sang pemenang itu sendiri.

Sengketa terjadi di mana-mana. Masyarakat sudah bosan dengan berbagai macam pemilu dan apatisme politik meningkat. Politik sudah terlanjur dianggap sebagai ruang kotor, sarang para koruptor, dan tempat mengumpulkan kekayaan. Masyarakat (oke...sebenarnya ‘saya’) ingin melihat sebuah perubahan nyata yang sederhana seperti harga sembako murah, jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang murah bahkan gratis, harga pupuk murah, sampah tidak berserakan, sistem pengadilan yang tegas dan berwibawa, polisi yang benar-benar mengayomi, transportasi umum nyaman dan aman, dan birokrasi yang melayani. Hanya itu saja.

Adakah harapan untuk mengubah stigma perpolitikan di tanah air ini? Ya, tetaplah berharap, karena jika sudah berhenti berharap kita sudah tidak akan bekerja lagi untuk mewujudkan harapan itu, sekecil apapun cara yang ditempuh. Selamat berjuang para caleg dan capres, tolong yakinkan saya agar saya tidak golput.

Keterangan gambar: Seruan pendukung Gus Dur untuk tidak memilih PKB karena Gus Dur telah disakiti, kata spanduk itu. Spanduk terdapat di daerah Singosari, Malang.

Jajan Makanan

Turis dengan selera makan yang tidak bisa diubah

Sedia masakan Chinese Food atau Japanese Food sudah sering kita dengar, apalagi American Food yang bisa didapat di restoran cepat saji di seluruh dunia.

Tersedianya berbagai jenis makanan dari negara lain tentu akan memperkaya wawasan mengenai kuliner, sebuah jenis masakan di sebuah negara lain dan diadaptasi di negeri sendiri.

Tentu sepanjang yang saya ketahui, beredarnya berbagai jenis masakan itu adalah sebagai variasi pilihan makanan bagi penduduk setempat untuk berjajan makanan untuk memuaskan selera makan dengan berbagai macam rasa di lidah. Chinese food atau Japanese food di sini bukan di sediakan untuk orang-orang China atau Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin mencicipi makanan yang sudah biasa dengan keinginan lidah mereka, karena tentu sebagai turis mereka juga ingin mengetahui rasa masakan Indonesia.

Tapi terkadang tidak selalu demikian. Ada pula yang meski sudah berjalan jauh ke sebuah negara sebagai turis, tetap saja tidak bsia berkompromi terhadap jenis makanan di daerah tersebut. Bahkan di tempat pusat turis tertentu ada Bar Jerman misalnya, sebuah tempat untuk melepaskan dahaga bagi mereka yang berasal dari Jerman dan berkumpul dengan komunitas mereka, meski sedang tidak berada di negara sendiri. Hmm, entah apa yang dinginkan jenis pelancong seperti ini, saya harus belajar untuk memahami dan mencari waktu bercengkerama dengan mereka :)

Di suatu sudut di kota Chiang Mai, Thailand, saya juga menemukan tempat berkumpulnya penjual masakan “Arabia Muslim Restaurant (Halal Food)”. Tingginya arus pengunjung dari Timur Tengah ke kota Chiang Mai membuat kota ini menyediakan sebuah tempat khusus bagi untuk wisatawan dari Timur Tengah plus Pakistan, India, dan Bangladesh, seperti yang tertulis di spanduknya, menariknya kenapa Indonesia tidak tercantum? Padahal ketiga negara itu kan bukan Arab sama sekali? Apalagi jika melihat profil negera Indonesia, maka sudah sepantasnya wisatawan Indonesia juga akan banyak mencari ‘halal food’.





Pusat jajanan makanan di Chiang Mai yang di atas jelas pasar pengunjungnya bukan menyasar orang-orang Chiang Mai yang doyan menjajaki berbagai jenis kuliner (tidak dilarang kalau mau mencicipi makanan Arab, semua bebas), tapi ia merupakan jenis penyedia makanan bagi mereka yang berasal dari negara Timur Tengah yang kebetulan datang ke Chiang Mai, mirip seperti Bar Jerman (yang kebetulan saya sempat lihat di Chiang Mai juga). Di Indonesia sepertinya jarang ditemui jajanan kuliner yang disediakan bagi turis negera tertentu.

Jika saya menteri pariwisata, maka saya akan mempromosikan masakan Indonesia dari berbagai daerah dengan gencar, terutama nasi gandul dari Juwana dan sate madura. Eh, menteri kan tidak seharusnya netral ya? Ah, mumpung masih dalam tahap berandai-andai :)

Kemenangan Venezuela atau Kemenangan Hugo Chavez?


Ketika masa jabatan politik tidak (lagi) dibatasi.

Mari sejenak menuju ke negara Venezuela. Sebuah negara yang dianugerahi dengan emas hitam alias minyak berlimpah yang menurut pengakuan pemerintahnya saat ini sedang berkuasa saat ini telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 45% menjadi tinggal 9,5% (pendapat oposisi berbeda, menganggap pemerintah telah menghacurkan ekonomi).

Sosok dibalik orang yang memerintah Venezuela telah sedikit-banyak mencuri perhatian dunia dan telah banyak yang mengagumi namun juga membencinya. Dialah Hugo Chavez.

Hugo Chavez adalah pengkritik keras Pemerintahan Amerika Serikat yang dianggapnya imperialis dan ia saat ini sedang memimpin Venezuela untuk menuju revolsi sosialismenya yang belum juga tuntas, katanya. Kharisma dan semangatnya ketika berpidato bisa membakar semangat yang mendengarkannya.

Waktu 10 tahun sejak ia berkuasa dari tahun 1999 sampai hari ini belumlah cukup baginya dan menurut konstitusi yang berlaku, Hugo Chavez harus meletakkan jabatannya sebagai presiden di tahun 2012 karena ia sudah memimpin selama dua periode.

Singkat kata ia melakukan jajak pendapat kepada rakyat Venezuela untuk menghapuskan syarat masa jabatan sehingga ia bisa lagi maju untuk berkompetisi di tahun 2012 sebagai salah satu kandidat presiden Venezuela. Dan akhirnya ia mendapatkan apa yang diinginkan karena rakyat Venezuela akhirnya memilih untuk menghapuskan syarat masa jabatan. Hugo Chavez pun tersenyum lebar, hari Minggu barusan.

Hugo Chavez akan siap maju lagi di panggung pemilihan presiden tahun 2012 nanti dan ia sangat yakin akan terpilih kembali sebagai presiden untuk melanjutkan sosialisme yang belum selesai ini. Ia bahkan bercita-cita untuk memimpin Venezuela sampai usianya mencapai 95 tahun jika diberi umur panjang.

Terlepas dari semua yang telah ia sumbangkan ke rakyat Venezuela, ide untuk tetap berkuasa tanpa dibatasi jangka waktunya merupakan sebuah isyarat yang kurang menggembirakan dalam jangka panjang.

Terbuka kemungkinan untuk seserorang untuk terus berkuasa dengan segala cara, termasuk menggunakan kekuatan militer untuk mengamankan kursi kekuasaan. Berkuasa memang enak dan menjadi penguasa yang sudah memegang jabatan berkali-kali akan lebih mudah untuk kembali memenangi pemilu berikutnya dikarenakan ia telah mengumpulkan popularitas dan memiliki akses yang lebih dekat untuk turun ke rakyat.

Akibatnya bisa terjadi ketersumbatan dalam suksesi kepemimpinan di negeri tersebut, karena kaum muda yang merupakan pengganti mereka tidak mendapat kesempatan untuk diuji kepemimpinannya, sehingga ia harus menunggu waktu yang sangat lama untuk mengisi kepemimpinan nasional dan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dalam pemerintahan.

Maka, apa yang dilakukan Hugo Chavez saat ini benar-benar memiliki potensi yang sangat berbahaya terhadap revolusi sosialnya sendiri, ia seharusnya memikirkan bagaimana menyiapkan dan memberi bimbingan kepada pemuda-pemudi di Venezuela agar mereka siap menjadi Hugo Chavez-Hugo Chavez yang baru yang siap membantu menjalankan revolusi sosial atau apapun program yang dimaksud.

Hugo Chavez seharusnya tidak mengambil langkah jangka pendek untuk mengamankan kekuasaannya. Akan sangat konyol jika katakanlah revolusi sosialnya nanti sudah tercapai, maka akan dibuat referendum lagi untuk membatasi masa jabatan kekuasaan di konstitusi.

Seharusnya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tahu bagaimana meneruskan dan membagikan kemampuannya. Namun sayang sekali apa yang dilakukan Hugo Chavez bisa memberi contoh yang kurang baik bagi semua negara dan impian anak muda di Venezuela.

Akhirnya saya harus netral terhadap Hugo Chavez setelah sempat mengaguminya, semoga beliau bisa mewujudkan revolusi sosialisnya yang entah kapan dan apa ukurannya sehingga ia telah berwujud.



Keterangan gambar: (atas): Hugo Chavez, (Bawah): Hugo Chavez (kiri) bersama kameradnya yaitu Fidel Castro (tengah, mantan presiden Kuba), dan Evo Morales (kanan, Presiden Bolivia)

Sumber gambar: (atas) http://www.allamericanpatriots.com/files/images/hugo-chavez.jpg
(bawah) mediavigil.blogspot.com

Selasa, Februari 17, 2009

The Last Communist in Thailand

Apa yang terbesit dalam pikiran Anda saat mendengar kata “Komunis”?

Setiap orang pasti memiliki keinginan agar hidup ini tidak banyak kesulitan dan mudah mendapatkan penghasilan. Hidup ini juga harus adil, tentunya bagi mereka yang merasa hidup ini tidak adil dalam konteks penghasilan hidup, bagi mereka yang sudah kaya hidup ini sudah adil.

Mungkin ketika mengamati buruh yang harus bekerja selama 12 jam sehari dengan upah rendah sementara mereka yang ‘memiliki’ pekerja tersebut bisa dengan santai menunggu hidangan makan di meja mereka, maka sambil menggaruk kepalanya (mungkin) seseorang di Jerman sana pada abad-19 mulai menulis pendapatnya mengenai “Kapital” dalam buku teramat tebal berjudul “Das Kapital”, nama orang itu Karl Marx.

Cita-cita Marx dalam menghapuskan perbedaan kelas antara kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (pekerja) sangat menarik, artinya tidak ada lagi orang (atau kelompok) yang bisa menindas orang lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata, “Bertindaklah dengan cara sedemikian rupa sehingga kamu selalu menghormati perikemanusiaan,” kata rekan Jermannya yang lebih senior Immanuel Kant yang lahir tahun 1724.

Dan tibalah saat genderang itu ditabuh di tahun 1848 ketika Manifesto Komunis dibacakan oleh Marx dan kawannya Engels, dengan semboyan yang terkenal “Buruh di seluruh negeri, bersatulah!”. Kekuasaan politik mutlak diambil alih agar tercapai cita-cita menjadikan masyarakat komunis, masyarakat tanpa kelas lagi dan semunya adil.

Sialnya bagi Marx, atas nama komunisme telah banyak terjadi pertumpahan darah, perang ideologi, dan akhirnya cita-citanya ditafsirkan menurut versi sendiri-sendiri oleh orang-orang seperti Mao, Pol Pot, Stalin, Kim Il-Sung, dan banyak lagi, sehingga banyak nyawa yang mungkin saja proletar melayang.

Di negeri kita kata komunis digunakan untuk menghina orang yang dianggap tidak bermoral, misal dalam umpatan, “Dasar PKI!”, “Komunis lu!”, dan seterusnya. Ia jadi masalah ketika ada beberapa buku pegangan pelajaran sejarah untuk siswa-siswi SMP dan SMU tidak mencatumkan “PKI” di belakang “G30S”. Ia merupakan film wajib yang harus ditonton di TVRI ketika tanggal 30 September sudah datang, namun temanya mengenai ‘kekejaman’ PKI, ketika sosok DN Aidit, ketua legendarisnya, digambarkan seperti mafia. Tiada tempat bagi PKI dan anak-cucunya di negeri ini pada era ketika Orde Baru masih bekuasa. Ketika kita menanyakan tentang kebijakan penguasa, maka siap-siaplah diberi label “komunis”, “subversif”, dan penjara adalah rumah Anda.

Cita-cita menginginkan masayarakat yang adil memang tidak terikat bagi mereka yang memercayai doktrin komunis saja. Mother Teressa dan Gandhi sama sekali tidak pernah dikaitkan dengan komunis.

Saya lalu bertemu dengan Vipar Daomanee, seorang dosen di Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand. Seorang ibu bermata sedih yang merupakan korban dari tindakan ‘penertiban mahasiswa’ oleh militer tahun 1976 di Universitas Thammasat dan ia adalah salah satu dari ribuan orang yang bersembunyi.

Ibu Vipar sangat sedih dengan keadaannya waktu itu. Terlebih lagi ketika PM Thailand waktu itu (Juni 2008) Samak Sundaravej menyangkal terjadinya peristiwa itu dengan mengatakan ‘hanya’ 1 orang yang terbunuh. Dia sedih mengapa seseorang bisa begitu merendahkan nilai kemanusiaan.

Dia yakin dengan pendirian komunisnya, sangat yakin. Dia bercita-cita melihat dunia ini tidak ada lagi penindasan dari manusia terhadap manusia. Ketika ditanyakan kenapa komunis sudah membunuh banyak orang, seperti genosida oleh Pol Pot di Kamboja, dia dengan tegas mengatkan bahwa itu bukanlah cita-cita komunis, ia hanya membawa nama komunis. Komunis sejatinya adalah keadilan bagi semuanya.

Lalu bagaimanakah caranya mencapai tujuan komunis itu? Mutlak.. salah satunya adalah lewat jalur politik. Sambil menunggu menuju cita-cita komunis tercapai, kelompok mereka tentunya melakukan pendidikan bagi rakyat juga.

Berbicara mengenai ideologi komunis tidak akan selesai hanya dalam waktu singkat. Panjangnya jejak sejarah yang telah ditandai atas nama komunis akan membuat kata yang satu ini menemui panggungnya di suatu kala dan menemui ajalnya di saat kini.
Namun ide tentang masyarakat yang adil dan makmur tentu bukan misi komunis semata. Kaum kulit hitam bisa mendapatkan hak sebagaimana yang didapatkan kaum kulit putih, begitu juga kaum wanita terhadap kaum pria yang membuat kata “Feminis” muncul ke permukaan, merupakan contoh sebuah perjuangan mendapatkan kesetaraan di suatu masa di dunia ini.

Dan ini akan terus berlangsung ketika masih banyak orang yang merasa adanya ketidakadilan di dunia ini, entah atas nama komunis, perdamaian, keadilan, agama, etika, kesetaraan, dan lain-lain.

Tapi ngomong-ngomong masihkah kita merasa benci yang entah kenapa muncul begitu saja ketika mendengar kata komunis? Benar-benar sebuah kata yang legendaris. :)

Keterangan gambar: Vipar Daomanee

Senin, Februari 16, 2009

Kebebasan Berkreasi di tengah Kebebasan Berekspresi di Pasar Semawis


Sesuatu yang tidak terbayangkan bisa terjadi 10 tahun yang lalu

Semarang merupakan salah satu kota yang memiliki banyak tempat menarik untuk dikunjungi. Siapa yang tidak kenal Lawang Sewu gedung tua berisi para hantu itu (katanya) sampai-sampai dijadikan judul industri film horor negeri ini.

Ada lagi kelenteng Cheng Hoo, yang namanya diambil berdasarkan nama seorang Laksamana Muslim utusan kaisar dari Dinasti Ming di China sana. Peziarah yang datang ke tempat ini konon tidak hanya mereka yang beragama Buddha, Konfusius, dan Tao, tapi juga dari Muslim. Cukup unik.

Namun ada satu lagi pasar malam yang menarik untuk dikunjungi. Saya telah melihat liputan pasar malam itu di acara bertema jalan-jalan di televisi, nama pasar itu Semawis. Buka setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu di kawasan pecinan Semarang. Kesempatan mengunjungi Semarang akhirnya datang juga.

Kata kawan saya tempat ini dulunya hanya dibuka setiap menjelang tahun baru imlek saja, namun melihat antusiasme pengunjungnya, maka setiap minggu tiga kali pasar ini diadakan.

Pengunjung yang datang ke pasar ini kebanyankan dari etnis Tionghoa. Saya bertanya-tanya mengapa tempat ini tetap selalu ramai meski dibuka tiap semiggu tiga kali? Apakah pengunjungnya tidak bosan? Apakah ini euforia dari keterkekangan selama masa Orde Baru?

Di Semawis, aneka asesoris bisa ditemukan, oh tentu saja asesoris made in China yang mendominasi, yang terkenal dengan harga murahnya dan berbagai barang sepele nan aneh.

Di satu sisi, sekelompok pencinta karaoke lagu-lagu mandarin nostalgia berkumpul di sebuah sudut untuk mengekspresikan kegemarannya akan dunia tarik suara, rata-rata dari mereka sudah senior alias sepuh. Tanpa peduli suara mereka bagus ataupun setara dengan penghuni Lawang Sewu, mereka tetap bernyanyi dan berjoget dengan riangnya, tak jarang tepuk tangan mereka dapatkan atas penampilan itu. Pokoknya hobi tersalurkan.

Pasar serupa di Surabaya bernama Kya-Kya Kembang Jepun konon mengalami penurunan pengunjung yang membuat pedagang di tempat itu harus menghitung ulang untung-ruginya.
Soal makanan, variasi yang bisa didapatkan Semawis tidak kalah. Yang unik, kemampuan berkreasi dalam membuat poster mengenai depot mereka menjadi salah satu daya tarik agar meraih pembeli, seperti bagaimana membuat poster bagi para caleg semenarik mungkin agar masyarakat mengetahui mereka (vote me.. vote me campaign, kata teman saya).

Karena segmen pembeli dari pasar Semawis ini kebanyakan bisa mengkonsumsi daging babi, maka di pasar ini mereka tidak tanggung-tanggung dalam menampilkan kata ‘babi’ dalam menu makanannya. Sate babi, misalnya, sangat umum didapatkan di Semawis.

Pasar Semawis merupakan representasi dari kebebasan berekspresi yang dirasakan oleh oleh etnis Tionghoa di Indonesia, sesuatu yang tidak bisa dibayangkan terjadi 10 tahun yang lalu. Makin terbukanya iklim kebebasan berekspresi ini haruslah dirasakan dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia dengan penuh tanggung jawab. Meski belum sepenuhnya berjalan mulus, karena saudara-saudara kita di Aceh, Papua, dan daerah Indonesia Timur lainnya masih rawan akan konflik yang membuat kebebasan mereka sedikit terkekang, pemerintah harus terus menjaga iklim kebebasan berekspresi ini dan selalu siap mendengarkan kritik dari masyarakatnya.

Apa yang tidak terbayangkan 10 tahun yang lalu kini bisa diwujudkan, sekarang saatnya kita berusaha mewujudkan apa yang belum terwujud.

Saya memimpikan kebebasan berekspresi di Pasar Semawis sebagai simbolnya, bukan di depan sebuah monumen atau patung kebebasan.

Tibet


Tanah yang terletak di pegunungan Himalaya itu sudah menyimpan banyak cerita yang menarik, salah satunya adalah kisah tentang Shangrila, sebuah negeri yang tenteram. Tibet menjadi terkenal berkat ketokohan pemimpin spiritualnya, Dalai Lama XIV yang bernama asli Tenzin Gyatso. Peraih hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1989 itu tetap berpegang pada pendiriannya dalam menghadapi negeri China, yaitu tidak menggunakan kekerasan dan tidak membenci rakyat China.

Pada tahun 1959 Dalai Lama harus pergi meninggalkan tanah kelahirannya setelah tentara komunis China menghadapi protes dari para biksu Tibet dengan kekerasan atas kependudukan tanah mereka oleh Pemerintah China. Sampai hari ini, Dalai Lama dan ribuan pengungsi Tibet menetap di India dan masih terus berusaha untuk kembali ke Tibet dan mengatakan kepada Pemerintah China bahwa rakyat Tibet tidak menuntut kemerdekaan tetapi otonomi yang lebih besar atas tanah mereka sendiri sehingga kekayaan budaya mereka tidak hilang.

Saya tidak pernah menyangka bisa bertemu salah satu dari mereka, tepatnya di kota Bangkok saat saya diundang oleh sebuah organisasi. Kas Tempa nama seorang biksu Tibet itu. Pembawaannya ramah dan suka bercanda. Dia sudah menjadi biksu selama 20 tahun lebih, padahal usianya masih 32 tahun saat itu.

Rupanya Tempa tidak tahu sama sekali mengenai negara bernama Indonesia sebelumnya, sehingga ia tidak pernah tahu keberagaman suku dan etnis yang berada di Indonesia. Begitu dia tahu bahwa nenek moyang saya berasal dari China, matanya lalu terbelalak, mulutnya menganga menunjukkan bahwa dia kaget setengah mati.

Bukan bermaksud membenci orang China, namun dia kaget mengapa ada orang China yang mendukung perjuangan rakyat Tibet, saya hanya tertawa dan mengatakan saya orang Indonesia, sama sekali sudah tidak ada hubungannya dengan negara China, dan saya mendukung perjuangan rakyat Tibet karena Pemerintah China sudah melakukan sesuatu yang menurut saya melanggar hak asasi manusia dan memberi propaganda dengan melabeli Dalai Lama pemberontak atau pengkhianat, sedangkan Dalai Lama tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang mengecam dan mejelekkan bangsa China. Dengan jelas kita tahu siapa yang harus didukung dan bukan berarti karena saya memiliki asal-usul dari negera tersebut maka saya harus membelanya secara membuta.

Sebagaimana penduduk Tibet lainnya di pengungsian, Tempa memiliki keinginan yang besar untuk melihat tanah Tibet suatu hari benar-benar bisa bebas dari cengkeraman pemerintah China, oleh sebab itulah mengapa dia sangat menghormati mereka yang mendukung perjuangan rakyat Tibet.

Selama ini saya hanya melihat melalui televisi bagaimana biksu Tibet menghormati kawannya yaitu dengan merangkul kemudian menempelkan dahinya ke dahi kawannya. Saya tidak menyangka, ketika akan meninggalkan kota Bangkok, Tempa mengalungkan sebuah selendang Tibet, lalu merangkul saya, menempelkan dahinya ke dahiku, lalu membacakan suatu doa dalam Bahasa Tibet. Entah mengapa, detik-detik itu terasa begitu hikmat. Saya merasa sangat dihormati dan dihargai.

Sambil berharap suatu hari dapat bertemu dan melihat Tibet bisa bebas, pikiranku terus mengusik saya, berkata tidak seharusnya seseorang menindas dan menekan orang lain.


Keterangan gambar: (atas) Kas Tempa, seorang biksu Tibet,(bawah) Seven Years in Tibet, film yang dibintangi Brad Pitt, gambar menunjukkan Dalai Lama kecil menempelkan dahinya sebagai bentuk penghormatan khas orang Tibet. Gambar diambil di http://www.allposters.com/-sp/Seven-Years-in-Tibet-Posters_i2923044_.htm

Mereka yang Memilih Berjuang


Sebuah pelajaran ketika uang tidak mampu membeli segalanya, ketika apa yang Anda yakini tidak dianggap penting bagi orang lain, ketika banyak orang pesimis terhadap apa yang Anda perjuangkan.

Chiang Mai, Thailand, Juni 2008. Hari itu tidak terlalu cerah, hujan sempat mengguyur namun tidak terlalu deras. Kami semua lalu berhenti di depan sebuah pasar kecil perlengkapan kebutuhan sehari-hari atau sekadar minuman ringan bisa didapatkan di sana. Namun, ternyata perhentian itu hanya awal dari sebuah perjalanan yang lumayan jauh. Kami di sambut oleh seseorang yang biasanya dipanggil Pru. Dia sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Perawakannya tinggi dan kurus, berjenggot dan berkumis tipis, berambut gondrong dan murah senyum. Mengenakan pakaian khas suatu kelompok etnis tertentu yang sangat asing bagi saya, namun belakangan kami mengetahui bahwa di balik sosok sederhana ini terdapat jiwa perjuangan yang besar yang kami belum tentu bisa menandinginya.

Kami sudah ditunggu oleh tiga mobil yang siap mengantar kami ke desa tempat Pru tinggal. Apa yang menarik di sana? Mengapa kami harus diajak ke sebuah desa yang jalannya sangat berlumpur, tidak rata serta terpencil?

Nama kelompok etnisnya adalah Pakayaw, asing sekali bukan? Bahkan bagi orang Thailand sendiri pun. Kebanyakan dari mereka adalah pemeluk Kristen, sehingga mereka adalah minoritas di negeri Thailand baik secara etnis maupun agamanya. Kami diajak ke sana untuk belajar bagaimana cara hidup mereka dan apa yang selama ini diperjuangkan oleh Pru, sosok pemuda yang dianggap pemimpin di desanya.

Karena mereka dianggap tertinggal dan minoritas, para penguasa di Thailand ingin membeli tanah yang mereka sudah tempati selama turun-temurun bahkan sebelum undang-undang mengenai sertifikat tanah itu ada. Saat ini status mereka adalah ‘ilegal’ karena tidak memiliki sertifikat tanah. Penguasa ingin mengembangkan sebuah proyek taman nasional dan tanah mereka masuk dalam area yang ingin ‘digusur’.

Pru suatu ketika mengatakan dia pernah diperlihatkan sejumlah uang yang jumlahnya banyak sekali, untuk ukuran orang yang tinggal di pedalaman sepertinya jumlah itu sangat fantastis karena uang menumpuk di dalam sebuah koper (yang sebenarnya jumlahnya tidak seberapa untuk harga sebuah lahan luas yang ingin pemerintah beli). Pru tercengang. Pada saat mendengar cerita itumata kami terpana ke Pru dan bertanya-tanya apa yang dilakukan Pru ketika itu? Bagaimana cara dia menolak?

Ternyata dengan sangat polos dan sederhana, Pru hanya menjawab, “Apakah anda memiliki keluarga, anak, dan istri? Mereka semua tidak bisa dibeli dengan uang berapapun besarnya, begitu pula lahan ini, ia sudah seperti keluarga kami.” Saya terkesima dengan jawaban sederhana Pru namun patut menjadi renungan bagi kita semua yang bukan mustahil akan tergoda dan goyah prinsipnya hanya dengan uang. Pru sudah memperhitungkan segalanya. Pru bukan orang yang anti terhadap uang. Namun cara hidup dan budaya orang-orang etnis Pakayaw terancam akan tercabut jika mereka harus pindah dan tersebar. Nilai apakah yang begitu penting sehingga ia mati-matian dipertahankan Pru dan membuat kami semua harus jauh-jauh datang kemari untuk belajar dari mereka?

Lagi-lagi sesuatu yang sederhana dan sering kali sudah terlupakan. Kebersamaan, kepedulian, saling menghormati, sopan santun, dan kesederhanaan. Cara hidup etnis Pakayaw benar-benar mengandalkan kebersamaan. Sawah mereka kelola bersama dan hasil panennya tidak untuk dijual melainkan untuk dikonsumsi bersama, sehingga rasa kebersamaan di antara mereka sangat kental saya rasakan ketika mereka menyambut rombongan kami di desanya.

Pru menganggap masyarakat Thailand harus tahu terhadap apa yang mereka sedang hadapi. Berita mengenai mereka pasti sangatlah jarang diliput media. Maka, Pru pernah melakukan perjalanan dari Chiang Mai menuju kota Bangkok dengan berjalan kaki dan menyebarkan selebaran. Jika menggunakan bus, maka Chiang Mai-Bangkok akan ditempuh dalam 9 jam. Pru menempuh 45 hari perjalanan agar tiba di pusat kota Bangkok. Dalam perjalanannya, Pru akhirnya diliput oleh sebuah stasiun TV dan menayangkannya dalam acara berdurasi 30 menit khusus untuk meliput perjalanan Pru.

Saat ini Pru dan etnis Pakayaw masih terus berjuang untuk mendapatkan status ‘legal’ mereka. Mereka tidak menyerah, mereka memilih untuk berjuang. Mungkin banyak di antara kita pesimis, mungkin juga mengatakan percuma melakukan perjalanan 45 hari, menyiksa diri dan hasilnya tidak tampak (dalam rekaman tayangan TV yang meliput Pru, ada beberapa yang menganggap Pru gila, tapi juga ada yang memberi semangat dan uang saku untuk jaga-jaga).

Namun, saya yakin jika Pru mendengarkan ini semua dia hanya akan tersenyum dan tidak berusaha untuk mengkhotbahi atapun marah terhadap mereka yang menganggap perjuangan Pru sia-sia. Karena Pru yakin hasil yang ia perjuangkan akan tampak ke depan jika dengan sungguh-sungguh ia jalani terus, lebih dari itu secara tidak sadar ia telah mengingatkan kita untuk selalu mempertahankan nilai-nilai kebersamaan yang lebih bermakna lebih dari sekadar memiliki uang banyak, sebuah nilai yang saat ini sudah mulai pudar. Saya lalu membayangkan apakah saya cukup kuat jika berada pada posisi Pru?

Semoga bisa bertemu lagi, Pru!

Keterangan gambar: (Paling atas) Pru, (Tengah) Rumah masyarakat etnis Pakayaw, (Paling bawah) Rombongan yang terdiri dari negara Kamboja, Indonesia, Singapura, Malaysia, India, Sri Lanka, Nepal, Bhutan, Myanmar, Thailand dan Tibet

Ceritakan Tentang Dunia Kepadaku

Ceritakan tentang dunia kepadaku
Aku ingin mendengar
Nyanyian orang-orang di seberang sana
Aku ingin tahu
Bagaimana mereka menari
Bagaimana mereka berpakaian

Cerita tentang dunia kepadaku
Aku ingin menyelami
Apa yang mereka pikirkan tentang dunia
Apa hasrat mereka
Apa impian mereka
Apa yang mereka baca
Apa yang mereka tulis

Ceritakan tentang dunia kepadaku
Aku ingin tahu
Seindah apa alam di sana
Seindah apa gunung-gunung menjulang
Seanggun apa pelangi mewarnai langit
Semerdu apa burung-burung berkicau
Sehijau apa rumput dan pohon mewarnai bumi
Sejernih apa air memantulkan kilau sang surya
Selembut apa angin membelai mereka

Ceritakan tentang dunia kepadaku
Aku ingin melihat mata berbinar
Mendengar cerita akan kekaguman
Bertanya tentang dunia
Merasakan hasrat itu
Menyimak kata demi kata
Mengetahui bagaimana perjalanan-perjalanan itu
Saat engkau bercerita tentang dunia

Maka
Ceritakanlah tentang dunia kepadaku

Wintomo Tjandra

Minggu, Februari 15, 2009

Sajak Keheningan

Tak jua berhenti keramaian menyiksaku
Namun tak dapat kuhindari
Keramaian adalah satu-satunya alasanku
Agar aku bisa "ada" di sini

Ada suara di sana
yang ingin kudengarkan bukan telinga
tapi dengan mata yang terpejam
dan hati yang sebening tirta di telaga sana
yang tidak hanya memantulkan segala jenis cahaya
tapi ia juga memantulkan suara dan bayanganmu
dan juga menampung air hujan

Karena keramaian itu terlalu hening
Ingin kuusir kau pergi jauh, "suara hening" yang congkak!

Keheningan yang kuinginkan
Namun ada keramaian di sana
ketika kubuka mataku
lalu aku mendapatkan kebeningan telaga itu
yang memantulkan segala jenis cahaya berbentuk hasrat
yang memantulkan suara dan bayangan

Lalu kudekap cahaya itu
Membuat telaga
dan siap mengisinya dengan "suara keramaian"
Seramai air hujan yang mengguyur
Seramai suara dan bayangan yang memantul darimu
Namun dalam keheningan yang tiada terpermanai
oh...dan terdengarlah suara ramai itu
semua terdengar
sungguh ramai...
Tapi tiada ia menyiksaku lagi

Wintomo Tjandra